Catatan Kritis 30 Hari Penanganan Wabah Covid-19 Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta
A. MASALAH-MASALAH YANG BERMUNCULAN
Sudah 30 hari status tanggap darurat wabah virus corona (covid-19) diberlakukan di Provinsi
D.I. Yogyakarta. Situasinya kian hari, justru semakin gawat. Dari laporan dinas kesehatan kabupaten/kota dan rumah sakit rujukan covid, sebagaimana tertera di laman Instagram @humasjogja, per Minggu, 19 April 2020 saja, total data pasien dalam pengawasan (PDP) sudah mencapai 648 orang, dengan jumlah yang meninggal dunia 43 orang. Sementara, hasil laboratorium memperlihatkan terdapat 67 pasien yang positif terjangkit virus covid-19 dengan nyawa yang tak tertolong 7 orang. Sedangkan jumlah orang dalam pemantauan (ODP) melonjak hingga 3692 orang. Namun yang perlu dititikberatkan, data itu tentu bukan sekadar angka, melainkan manusia-manusia yang seharusnya darurat untuk diurus oleh negara, termasuk mereka yang belum terpapar covid-19. Hanya saja agaknya, hingga sekarang Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta masih belum memandang keselamatan dan kesehatan warga sebagai yang utama.
Dari pengamatan yang kami lakukan –bahkan sejak masa awal wabah ini mulai menyebar di Indonesia, khususnya Yogyakarta– pemerintah daerah cenderung mengambil sikap acuh tak acuh. Gelagat ini muncul dimulai dari dibikinnya pariwara pariwisata di tengah pandemi covid-19 “Yogyakarta Aman Dan Siap Dikunjungi Wisatawan”, lalu pernyataan meremehkan dari gubernur “kalau belum di atas 7 pasien positif, belum KLB (kejadian luar biasa) hingga yang termutakhir, sikap bersama kabupaten/kota maupun forkopimda yang belum akan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Menurut Gubernur Provinsi DIY, “…Saya hanya akan mempersiapkan untuk lonjakan pemudik saja. Karena juga belum memenuhi syarat epidemologi maupun transmisi lokalnya juga belum besar. Jadi (PSBB) belum perlu,”
Tindak-tanduk pejabat daerah yang begini, sebetulnya makin memperkokoh pandangan, pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam menanggulangi wabah. Ketidakseriusan itu lantas terbawa pada politik kebijakan yang dianut dan diterapkan, yang mana lebih menjurus pada
respon reaktif atas suatu peristiwa, alih-alih menelurkan konsepsi yang strategis, riil dan dapat diukur pencapaiannya. Bahkan kadangkala, pemerintah minim inisiatif dan tak transparan. Musti berulangkali diperingatkan, baru kemudian bergerak, terbitkan kebijakan atau mengubah yang kontraproduktif. Imbas dari dari politik penanganan covid-19 yang seperti ini, menimbulkan berbagai persoalan yang tidak main-main di lapangan, yang seluruhnya bertautan dengan hajat hidup masyarakat. Beberapa permasalahan yang dapat kami himpun antara lain:
1. Salah koordinasi antar instansi
a. Terlantar hingga meninggalnya pasien yang diduga memiliki gejala covid-19
Sebagaimana barangkali sudah jamak diketahui publik, sekira akhir Maret lalu, diberitakan oleh sejumlah media masa, dua dari tiga pasien yang dirujuk oleh Rumah Sakit Nur Hidayah ke RSUP Dr. Sardjito karena mengalami gejala klinis covid-19, wafat. Menurut Sagiran, Direktur Rumah Sakit Nur Hidayah, ia awalnya merujuk tiga pasien tersebut ke rumah sakit rujukan. Tapi dari 23 rumah sakit yang dihubungi, menolak dengan berbagai alasan, mulai dari penuh, diminta menghubungi gugus tugas covid terlebih dahulu dan lain-lain. Bahkan Sagiran juga sudah berupaya menghubungi tim gugus tugas, tapi diminta langsung menuju rumah sakit rujukan. Dua pasien akhirnya bisa masuk RSUP Sardjito, satu dari 23 sakit yang sebelumnya dikontak Sagiran. Seorang lagi dirawat di Rumah Sakit Umum Kabupaten Sleman. Namun dua pasien yang dirujuk ke RSUP Sardjito meninggal beberapa jam setelah dipindahkan. “Sistem rujukannya berbelit-belit. Saya ngeri kalau kalu mau merujuk pasien lagi,” ujar Ketua IDI Cabang Bantul itu.
Dari sejumlah informasi yang kami telusur, kami kemudian mengindikasikan kejadian ini sebagai salah koordinasi antar instansi. Pemerintah daerah tidak sigap, bahkan gagap dalam melakukan fungsi koordinasi. Di sisi lain kami menengarai tidak ada mekanisme yang rinci terkait bagaimana menyalurkan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit rujukan atau pun jika sudah ada, pertanyaannya seberapa jauh sosialisasi prosedur tersebut ke rumah sakit yang ada di seluruh Yogyakarta, termasuk kepada masyarakat?
b. Keluhan Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi DIY terkait stok APD
Pada 30 Maret 2020, akun Twitter TRC BPBD DIY sempat membuat utas yang intinya mengeluhkan ketidakjelasan informasi dan tidak adanya rencana aksi yang jelas
mengakibatkan lambatnya pembagian APD. Saat itu stok 4000 APD masih ada di gudang dan menyakan kepada Dinas Kesehatan Provinsi D.I. Yogyakarta. BPBD meminta pimpinan bertindak cepat dan tegas. Selain itu, BPBD juga menginformasikan soal rapid tes tidak jelas prosedur dan tata kelolanya. Ia bahkan hingga mengkritik, “jangan cuma main pencitraan dengan infografis dan video. Pasukan bawah sudah eneg jadi bemper”.
2. Fasilitas kesehatan yang tak memadai
Keterbatasan kapasitas itu, antara lain, tampak dari banyaknya jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) yang hasil pemeriksaannya belum keluar. Hingga 15 April 2020, dari total 581 PDP di DIY yang sudah diambil sampelnya, terdapat 275 PDP atau sekitar 47 persen yang hasil pemeriksaannya belum keluar.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, antrean PDP yang menunggu hasil pemeriksaan laboratorium itu sudah terjadi sejak 13 Maret 2020 atau hari pertama Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY merilis data Covid-19 secara resmi. Saat itu, dari 13 PDP yang diperiksa, ada dua orang yang menunggu hasil laboratoriumnya keluar.
Namun, seiring bertambahnya jumlah PDP yang diperiksa, antrean pemeriksaan sampel kian panjang. Dalam grafik perbandingan total PDP dan jumlah PDP yang menunggu hasil pemeriksaan, tampak tren jumlah PDP yang menunggu hasil pemeriksaan masih tinggi.
Meski kadang ada penurunan jumlah PDP yang menunggu hasil pemeriksaan, tetapi tren pertambahan lebih dominan. Artinya, kapasitas pemeriksaan belum bisa mengejar penambahan jumlah PDP.
3. Ketiadaan informasi terkait dengan kapasitas dan fasilitas rumah sakit rujukan
Problem ikutan dari salah koordinasi antar instansi dan masih dipertanyakannya protokol detail penanganan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit rujukan itu adalah, tidak adanya keterbukaan informasi menyangkut kesiapan kapasitas dan fasilitas rumah sakit. Keterangan tentang apakah rumah sakit rujukan memang sudah penuh kapasitasnya sehingga tidak bisa menerima pasien, bagaimana solusi ketika kapasitas rumah sakit rujukan sudah tidak memadai, bagaimana kesiapan dan perlindungan bagi tenaga kesehatan (dokter, perawat, pegawai-pegawai yang ada di rumah sakit, dll), bagaimana ketersediaan fasilitas medisnya (alat untuk melakukan tes swab, APD, dll), tidak terdengar secara benderang. Tim
gugus tugas yang dibentuk oleh gubernur pun tidak tampak usaha-usahanya untuk mengintervensi pelbagai persoalan tersebut. Akibatnya, kami menemukan permasalahan:
- Ada orang yang sudah sesak nafas, hasil tes awal sudah menunjukkan ada persoalan di paru-paru yang seharusnya diteruskan dengan tes SWAB, tapi ternyata alat tesnya tidak tersedia, sehingga diminta melakukan isolasi mandiri di rumah.
- Ada juga pengalaman seorang pasien yang hendak memeriksakan diri untuk tes SWAB tapi tidak bisa karena harus punya gejala yang parah terlebih dulu. Bila tidak, ia tidak dapat dialihkan ke rumah sakit rujukan.
Efek lanjutannya, orang-orang yang memiliki gejala yang mirip covid-19 tapi tidak dirawat dengan sebagaimana mestinya di rumah sakit atau tempat tersendiri, apalagi kalau telah berstatus ODP atau PDP, sudah barang tentu ia berpotensi menyebarkan virus ke lingkungan sekitarnya. Situasi makin bertambah parah manakala ia menerima stigma dan diperlakukan secara diskriminatif. Namun yang mencengangkan, seperti diberitakan, di DIY jumlah PDP yang meninggal sebelum hasil pemeriksaan laboratorium keluar memang cukup banyak.
Berdasarkan data Pemda DIY, hingga 9 April, jumlah PDP yang meninggal sebelum hasil pemeriksaan laboratoriumnya keluar sebanyak 14 orang.
4. Kebingungan menghadapi gelombang pemudik (baca: pengungsi)
Belum lama ini juga muncul persoalan tambahan yakni hadirnya arus pemudik (pengungsi) yang cukup deras dari luar provinsi D.I. Yogyakarta. Kabar dari wakil sekretaris gugus tugas percepatan penanganan covid-19, Provinsi D.I. Yogyakarta, Biwara Yuswantara menyebut ada sekitar 100 ribu pemudik yang masuk di Provinsi D.I. Yogyakarta. Biwara mengatakan, dari tanggal 25-30 Maret 2020 tercata ada 70.875 pemudik. Berselang dua hari, jumlahnya meningkat cukup signifikan. Pemerintah kebakaran jenggot menghadapi membeludaknya pengungsi yang masuk ke Provinsi DIY.
Kedatangan pemudik dalam skala besar ini direspon hampir beragam oleh pemerintah kabupaten/kota dengan menerbitkan surat edaran yang substansinya kurang lebih mengenai pemantauan terhadap warga pendatang dan warga yang pulang dari luar Provinsi D.I. Yogyakarta. Melalui surat itu, pemerintah menugaskan (menggeser tanggung jawab) kepada dukuh bersama ketua RT untuk melakukan pendataan dan pemberitahuan. Sedangkan kepada para pemudik, diperintahkan karantina/isolasi mandiri di rumah selama 14 hari. Kami memandang, surat-surat edaran semacam ini bisa jadi tidak perlu ada jikalau sejak awal pemerintah punya kebijakan yang tegas, misal dengan melakukan karantina wilayah tapi dengan tetap memastikan hak-hak warga, termasuk hak para pengungsi dilindungi dan dipenuhi.
Kami menyaksikan pemerintah justru bingung sendiri menghadapi gelombang pendatang. Akibatnya, dapat disaksikan di sejumlah daerah, pintu-pintu masuk kampung/desa sudah digerendel dan tersemat wara-wara: lockdown atau karantina wilayah. Satu sisi tindakan warga yang hampir serempak ini adalah reaksi spontan sebagai wujud protes atas ketidakjelasan skema dari pemerintah dalam penanggulangan wabah. Warga secara merdeka memilih berdaya tinimbang menunggu sikap negara yang serba samar. Alasan warga tentu
lebih menomorsatukan keselamatan dan kesehatan di kawasannya agar terhindar dari serbuan virus. Namun terlepas dari ihwal itu, di sisi lain ia juga berpeluang menimbulkan problematika baru, yakni segregasi sosial. Antipati terhadap pendatang/pemudik berikut stigma yang dilekatkan sebagai pembawa penyakit, bisa menjadi persoalan sosial yang lebih gawat lagi kelak. Belum lagi, keadaannya semakin malang bagi para pendatang manakala ia terombang-ombing, tidak memiliki tempat untuk tinggal dan negara masa bodoh terhadap kebutuhan dasarnya.
Kemungkinan-kemungkinan seperti ini yang semestinya diantisipasi oleh pemerintah semenjak dahulu. Kebijakan dalam kasus kehadiran pendatang ini hanya semakin menguatkan dugaan, langkah yang diambil pemerintah cenderung reaktif. Cara berpikir pemerintah, yang coba kami tangkap, condong menunggu ada persoalan dulu, gelagapan dulu, baru kemudian dicarikan jalan keluarnya, meskipun tidak solutif juga dan hanya menyelesaikan problem hilir, itu pun dalam perkiraan tempo yang terbatas, yang pada masa akan datang boleh jadi tetap akan muncul masalah serupa atau persoalan baru yang lainnya. Tentu ini bahaya dan hanya memperumit penyelesaian perkara.
5. Kelambatan dalam membuat jaring pengaman sosial (hak atas pangan)
Problematika fundamental yang juga tidak kalah kronis ialah ketahanan pangan warga. Setidaknya sejak pemerintah mulai bikin himbauan social/phisycal distancing (jaga jarak fisik), untuk di rumah saja atau melakukan kerja dari rumah (work from home), (taruh kata per 20 Maret 2020 saat gubernur menetapkan status tanggap darurat di Yogyakarta), hingga detik ini belum terlihat langkah konkret dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan warga –terutama yang paling miskin dan rentan– yang secara ekonomi terdampak wabah covid-19. Alih-alih lekas merumuskan dan mengimplementasikan skema pemenuhan pangan atau jaminan sosial, yang tampak sejauh ini tindakan-tindakan simbolisasi belaka. Misal, pada 2 April 2020 diberitakan, Pemerintah DIY mengusulkan skema penyaluran bantuan sosial (bansos) bagi 19.200 Kepala Keluarga (KK) selama masa tanggap darurat virus corona atau covid-19.14 Namun baru pada 14 April 2020, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, saat ini DIY telah menganggarkan dana Rp 246 miliar untuk penanganan tiga aspek terdampak wabah covid-19, yakni kesehatan, ekonomi dan jaring pengaman sosial.
Berita itu mempertontonkan, pertama, paling sedikit ada rentang waktu 2-14 April 2020 (sekitar dua minggu) dalam hal penganggaran tidak terdapat perkembangan yang signifikan. Belum lagi kalau temponya ditarik mundur mulai dari 20 Maret 2020 atau awal Maret 2020, artinya ada sekira satu bulan lebih warga (terutama yang miskin dan rentan) mengalami goncangan secara ekonomi. Pekerja di sektor informal (tukang becak, tukang ojek, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pedagang pasar, pengamen, buruh gendong, dan lain-lain) penghasilannya menurun bahkan musnah sama sekali. Kaum dhuafa (orang miskin) pun juga kondisinya makin hari makin kesusahan. Sementara pemerintah tidak lekas merancang skema kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar, mereka akhirnya hanya mengandalkan pertolongan dari sesama warga yang bersolidaritas. Kendatipun mirisnya, gerakan solidaritas yang diinisiasi oleh sekelompok warga juga kerapkali menerima intimidasi. Kabar teraktual, polisi malah membubarkan pertemuan di Kantor Walhi Yogyakarta terkait pembahasan
kegiatan sosial bagi masyarakat yang terdampak pandemi virus corona, Sabtu 19 April 2020.
Kedua, jika benar pemerintah telah menganggarkan Rp 246 miliar untuk penanganan tiga aspek terdampak wabah covid-19, pertanyaannya bagaimana petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya? Kapan akan direalisasikan? Pertanyaan ini penting diajukan supaya jangan sampai mandek pada tataran perencanaan tanpa pengamalan secara faktual. Sebab kami mensinyalir, pemerintah tidak sungguh-sungguh mengupayakan. Gubernur Provinsi DIY, Sri Sultan saja telah mengutarakan, pihaknya tidak ingin buru-buru mencairkan anggaran untuk membantu masyarakat terdampak wabah covid-19. “DIY masih menunggu pemerintah pusat agar bantuan nantinya tidak tumpang tindih. Jangan sampai Jakarta memberi, kita juga memberi,” kata Sri Sultan, di Yogyakarta, Selasa (14/4).
Penting digarisbawahi, kami melihat, di tengah keadaan yang genting, pemerintah masih setengah hati dalam memberikan bantuan. Lagi pula, seperti jamak terwartakan, di tataran pemerintah pusat saja penanggulangan wabah covid-19 kelewat centang-perenang. Kalau begitu lantas apa yang diharapkan dari pusat? Di sisi lain, konteks saling menunggu antar tingkatan pemerintah ini cuma menyulut ketidakpastian yang berbuntut pada kesengsaraan masyarakat. Oleh karena itu, menurut hemat kami, sepanjang tidak menerjang peraturan perundang-undangan, kami sangat mendorong, Pemerintah Daerah Provinsi DIY mengambil kebijakan yang melampaui pemerintah pusat. Tanpa harus menanti-nanti lagi, pemda musti lekas memberikan jaminan sosial untuk pemenuhan kebutuhan pangan warga.
B. LANDASAN HUKUM TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DALAM WABAH COVID-19
1. Provinsi D.I. Yogyakarta berstatus tanggap darurat bencana (non alam)
Bertolak dari pelbagai persoalan di atas, kami perlu mengingatkan bahwasanya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menerbitkan Keputusan Nomor 13.A Tahun 2020 Tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona Di Indonesia yang pada pokoknya memperpanjang status keadaan darurat selama 91 hari terhitung sejak 29 Februari 2020 sampai 29 Mei 2020. Ihwal penting yang musti ditekankan, pemerintah telah meletakkan wabah corona dalam status keadaan darurat, apalagi lalu menyusul keluarnya Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, pada 13 April 2020. Tapi terlepas dari itu, dalam lingkup Provinsi
Yogyakarta, hal serupa pun juga telah dilakukan oleh gubernur yang melahirkan Keputusan Gubernur Nomor 65/KEP/2020 Tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Bencana Virus Corona Disease 2019 (Covid-19) Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Inti keputusannya, menetapkan status tanggap darurat yang berlaku dari 20 Maret 2020 hingga 29 Mei 2020.
Dengan hadirnya keputusan Kepala BNPB Nomor 13.A Tahun 2020 dan keputusan Gubernur Provinsi D.I. Yogyakarta Nomor 65/KEP/2020, pemerintah seharusnya memberlakukan mekanisme-mekanisme tanggap darurat yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tanggap darurat sendiri, bilamana mengacu pasal 1 ayat 10 undang-undang tersebut, adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelematan serta pemulihan prasarana dan sarana.
Sesuai dengan penjelasan pasal ini, maka dapat ditekankan, di Provinsi D.I. Yogyakarta, sebenarnya sedang terjadi bencana, lebih tepatnya bencana non alam. Dalam situasi yang seperti ini, pendekatan penanganan yang musti dilakukan oleh pemerintah adalah cara-cara yang terdapat di dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007.
Pada pasal 48 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 telah diterangkan dengan gamblang, penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
- Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya
- Penentuan status keadaan darurat bencana
- Penyelematan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
- Pemenuhan kebutuhan dasar
- Perlindungan terhadap kelompok rentan
- Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital
Komponen penyelenggaraan penanggulangan bencana tersebut, bila dihubungkan dengan persoalan-persoalan yang mengemuka di Provinsi D.I. Yogyakarta seperti telah kami terangkan pada bagian sebelumnya, maka paling sedikit ada tiga hal yang semestinya dilaksanakan oleh pemerintah daerah saat ini, yakni penentuan status keadaan darurat, penyelematan dan evakuasi masyarakat terkena bencana dan pemenuhan kebutuhan dasar.
2. Pemenuhan kebutuhan dasar
Dalam situasi tanggap darurat, pemenuhan kebutuhan dasar menjadi sangat krusial. Sebagaimana diatur di dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007, pemenuhan kebutuhan dasar meliputi:
- Kebutuhan air bersih dan sanitasi
- Pangan
- Sandang
- Pelayanan kesehatan
- Pelayanan psikososial
- Penampungan dan tempat hunian.
Selain itu, dengan mengacu pasal 54 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007, penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman dan pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam tataran implementasi, merujuk ketetentuan pasal 52 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, lembaga usaha, lembaga internasional dan/atau lembaga asing non pemerintah sesuai dengan standar minimum. Sementara, menyangkut pendanaannya, sesuai dengan ketentuan pasal 60 Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah juga diberi kewenangan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat. Sedangkan pada pasal 61 diatur, pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana secara memadai.
Dari satu undang-undang, sudah kentara posisi negara dalam situasi tanggap darurat, suatu situasi yang menyuratkan, Indonesia maupun Provinsi D.I. Yogyakatan, sedang berada pada fase bencana. Karenanya, hak-hak warga atas kebutuhan dasar jadi amat vital. Hanya saja sayangnya, Pemerintahan di Provinsi D.I. Yogyakarta belum menitikberatkan prioritas penanggulangan bencana non alam (wabah covid-19) pada pemenuhan dan perlindungan kebutuhan dasar. Padahal jikalau merujuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, pemerintah dibebani kewajiban dan tanggung jawab penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, yang dapat diurai sebagai berikut:
a. Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki tanggung jawab dan kewajiban pemenuhan dan perlindungan hak atas kesehatan melalui pelayanan kesehatan
Dalam suasana krisis ini, pemerintah mesti responsif terhadap hak asasi manusia, salah satunya ialah hak atas kesehatan. Lagi pula, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sudah diperkuat oleh Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pada pasal 12 ayat 1 mengatur secara imperatif, negara pihak dalam kovenan (Indonesia) mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertingi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Sedangkan pasal 12 ayat 2 menyatakan, langkah-langkah yang akan diambil oleh negara pihak pada kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan, salah satunya pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik dan penyakit lainnya.
Kewajiban pemerintah lalu dirinci lagi dalam Komentar Umum Hak atas Standar Kesehatan Tertingi yang Dapat Dijangkau, yang mana negara harus mengedepankan akesesibilitas. Fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus dapat diakses oleh tiap orang tanpa diskriminasi, dalam yurisdiksi negara. Aksesibilitas ini memiliki empat dimensi yang saling terkait, yang antara lain yaitu:
1)Tidak diskriminasi
Fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus dapat diakses oleh semua, terutama oleh masyarakat yang marginal atau masyarakat yang tidak terlindungi oleh hukum dan dalam kehidupan nyata, tanpa diskriminasi dengan dasar apapun juga.
2)Akses ekonomi (terjangkau secara ekonomi)
Fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus dapat terjangkau secara ekonomi bagi semua. Pembayaran pelayanan perawatan kesehatan juga pelayanan yang terkait dengan faktor-faktor penentu kesehatan harus didasarkan pada prinsip kesamaan, memastikan bahwa pelayanan ini, yang tersedia baik secara privat maupun publik, terjangkau oleh semua, termasuk kelompok yang tidak beruntung secara sosial. Kesamaan mensyaratkan bahwa masyarakat
miskin tidaklah harus dibebani biaya kesehatan secara tidak proporsional dibandingkan dengan masyarakat kaya
Akses tersebut lantas diturunkan menjadi kewajiban inti negara, yang melingkupi hal-hal sebagai berikut:
- Menjamin akses pada fasilitas kesehatan barang dan jasa dengan dasar non diskriminasi khususnya bagi golongan rentan dan marginal;
- Menjamin akses pada makanan yang penting yang secara nutrisi memadai dan aman memastikan kebebasan dari kelaparan dari tiap-tiap orang;
- Menjamin akses pada pemukiman dasar perumahan dan sanitasi serta persediaan air yang memadai dan sehat;
- Menyediakan obat-obatan yang dari waktu ke waktu telah ditetapkan dalam program aksi WHO mengenai obat-obatan yang esensial;
- Menjamin fasilitas kesehatan barang dan jasa terdistribusi secara seimbang.
Selain kovenan internasional tersebut, Indonesia sebetulnya telah memiliki instrumen hukum yang spesifik mengatur tentang penanggulangan wabah penyakit, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular Dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 terdapat ketentuan mengenai upaya penanggulangan wabah (pasal 5), yang mempunyai dua tujuan pokok, yaitu berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan dan membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak meluas ke daerah lain. Berlandaskan pada tujuan ini, maka dalam penanggulangan wabah teradapat upaya yang salah satunya ialah pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina.
Pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina adalah tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap penderita dengan tujuan: 1. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan; 2. Menemukan dan mengobati orang yang nampaknya sehat, tetapi mengandung penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat menularkan penyakit (carrier). Guna menjawab tujuan dari tindakan ini, maka langkah-langkahnya diatur spesifik di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan, yakni melalui penatalaksanaan penderita (pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasi penderita, dan tindakan karantina).
Secara umum, penatalaksanaan penderita setidak-tidaknya meliputi kegiatan sebagai berikut:
- Mendekatkan sarana pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan tempat tinggal penduduk di daerah wabah, sehingga penderita dapat berobat setiap saat.
- Melengkapi sarana kesehatan tersebut dengan tenaga dan peralatan untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan, pengambilan spesimen dan sarana pencatatan penderita berobat serta rujukan penderita.
- Mengatur tata ruang dan mekanisme kegiatan di sarana kesehatan agar tidak terjadi penularan penyakit, baik penularan langsung maupun penularan tidak langsung. Penularan tidak langsung dapat terjadi karena adanya pencemaran lingkungan oleh bibit/kuman penyakit atau penularan melalui hewan penular penyakit.
- Penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan berperan aktif dalam penemuan dan penatalaksanaan penderita di masyarakat.
- Menggalang kerja sama pimpinan daerah dan tokoh masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat untuk melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat.
Bertolak dari ketentuan peraturan perundang-undangan itu dan mengaitkan dengan problem yang muncul di Provinsi D.I. Yogyakarta (mulai dari salah koordinasi antar instansi, masih dipertanyakannya prosedur detail penanganan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit rujukan itu serta tidak adanya keterbukaan informasi menyangkut kesiapan kapasitas dan fasilitas rumah sakit sehingga mengakibatkan ada pasien yang terlantar sampai meninggal dunia, habisnya alat tes swab dan persoalan yang lain dan aspek kesehatan baik yang menimpa pasien maupun tenaga kesehatan), kami menilai Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta tidak menjalankan kewajibannya secara penuh dalam menjamin akses pada fasilitas kesehatan barang dan jasa serta pelayanan kesehatan termasuk melengkapi sarana kesehatan tersebut dengan peralatan untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan, pengambilan spesimen dan sarana pencatatan penderita berobat serta rujukan penderita.
Padahal aturannya, negara diwajibkan mengedepankan aksesibilitas. Mestinya fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus dapat diakses oleh tiap orang tanpa diskriminasi, terutama oleh masyarakat yang marginal atau masyarakat yang tidak terlindungi oleh hukum.
b. Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki tanggung jawab dan kewajiban pemenuhan dan perlindungan hak atas bahan pangan kepada korban bencana non alam
Hak lain yang mesti dijamin pemenuhannya oleh Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta dalam kondisi bencana adalah hak setiap orang atas makanan. Sesuai dengan ketentuan pasal 11 ayat 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, negara mengakui hak setiap orang akan suatu standar penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk salah satunya makanan yang cukup dan perbaikan kondisi penghidupan yang terus-menerus. Negara lantas diperintahkan untuk mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin realisasi hak ini. Pada pasal 11 ayat 2 bahkan negara sudah mengakui hak hakiki setiap orang untuk bebas dari kelaparan.
Berpijak pada Komentar Umum No. 12 Hak Atas Bahan Pangan Yang Layak, Komite Persatuan Bangsa-bangsa untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya E/C.12/1999/5, hak atas bahan pangan yang layak terwujudkan ketika setiap laki-laki, perempuan dan anak-anak, sendiri atau dalam komunitas, mempunyai akses fisik dan ekonomis sepanjang waktu kepada bahan pangan yang layak atau cara mendapatkannya. Hak atas bahan pangan yang layak haruslah diwujudkan secara progresif. Negara mempunyai kewajiban inti untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengurangi dan meringankan kelaparan, bahkan dikala bencana alam atau lainnya.
Pengejawantahan secara progresif hak atas bahan pangan yang layak, juga harus mempertimbangkan salah satunya aksesibilitas fisik, yang berarti bahan pangan yang layak harus terjangkau bagi semua orang, termasuk individu-individu yang rentan secara fisik, seperti bayi dan anak-anak, orang lanjut usia, difabel, sakit parah dan orang yang sakit tidak kunjung sembuh, termasuk sakit jiwa. Korban bencana alam, orang yang hidup di lokasi bencana dan kelompok-kelompok tak beruntung lainnya mungkin membutuhkan perhatian
khusus dan kadang-kadang pertimbangan prioritas dalam hal aksesibilitas pada bahan pangan.
Hak atas bahan pangan yang layak, seperti hak asasi manusia lainnya, membebankan 3 jenis atau tingkat kewajiban bagi negara, yakni kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi. Kewajiban untuk menghormati jalur-jalur akses pada bahan makanan yang telah ada mengharuskan negara untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengakibatkan pencegahan terhadap akses-akses itu. Kewajiban untuk melindungi membutuhkan tindakan oleh negara untuk menjamin bahwa perusahaan atau individu tidak meniadakan akses individu- individu lainnya kepada bahan pangan yang layak. Kewajiban untuk memenuhi (memfasilitasi) berati bahwa negara harus secara pro-aktif terlibat dalam aktivitas yang dimaksudkan untuk memperkuat akses dan pendayagunaan sumber daya oleh masyarakat serta cara untuk menjamin kehidupan mereka, termasuk jaminan bahan pangan. Akhirnya, kapan saja seorang individu atau kelompok tidak bisa, karena hal-hal yang berada di luar kemampuannya, untuk menikmati hak atas bahan pangan yang layak sesuai dengan keinginan mereka, negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi (menyediakan) hak itu secara langsung. Kewajiban ini juga berlaku bagi orang-orang yang menjadi korban bencana alam atau lainnya.
Berpangkal pada ketentuan tentang hak atas bahan pangan tersebut, dan kemudian menyambungkan dengan kondisi di Provinsi D.I. Yogyakarta, paling tidak per 20 Maret 2020 saat gubernur menetapkan status tanggap darurat di Yogyakarta (hampir satu bulan ini) kami menilai negara gagal menjamin pemenuhan hak atas pangan, setidaknya tingkat pokok minimum yang dibutuhkan untuk bebas dari rasa lapar. Hingga sekarang, negara tidak mengambil langkah-langkah konkret yang diperlukan untuk memenuhi, selain hanya melemparkan rencana ini-itu tentang bantuan spangan, bantuan sosial dan lain-lain ke media tanpa tahu, kapan wacana itu menjadi nyata.
C. TAWARAN SOLUSI KEBIJAKAN
Sikap kabupaten/kota maupun forkopimda yang mendeklarasikan belum akan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ternyata tidak diikuti dengan alternatif kebijakan yang lain. Sampai kini, kami tidak melihat Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta mencanangkan kebijakan pencegahan dan pengendalian yang lebih maksimum dan terformat secara sistematis untuk menekan penyebaran covid-19, selain hal-hal yang sifatnya himbauan belaka. Arah politik kebijakan pemerintah daerah dalam penanggulangan wabah covid-19 tidak jelas dan condong menggunakan cara-cara yang tidak efektif. Bahkan pertanyaannya, apakah kebijakan yang selama ini diambil sudah pernah dievaluasi penerapannya?
Pemantauan kami, semenjak diberlakukannya status tanggap darurat, tidak ada hal-hal baru yang diupayakan oleh pemerintah. Sementara jumlah pasien yang positif terjangkit covid-19 dan PDP terus meninggi.
Pemerintah daerah seyogianya melancarkan strategi kebijakan yang lebih kreatif dan progresif. Apalagi, baru-baru ini, kondisi jalanan sudah ramai dan sebagian masyarakat sudah beraktivitas seperti biasanya. Kepala Dinas Perhubungan DIY Tavip Agus Rayanto mengakui adanya peningkatan aktivitas masyarakat di Kota Jogja. Senada, Gubernur Provinsi DIY juga mengamini, “Seperti dapat dilihat belakangan ini, jalanan mulai sedikit ramai
dibandingkan beberapa minggu lalu….” ujarnya.19 Keadaan ini tentu cukup merisaukan lebih-lebih lagi ditambah dengan gelombang besar pemudik (pengungsi) yang hijrah ke Yogyakarta. Keadaan demikian, bila tidak lekas diantisipasi, sebetulnya pemerintah sedang memasang bom waktu, yang kemungkinan meletus pada masa yang akan datang. Tadinya berkehendak agar tidak ada lagi orang yang terjangkit covid-19 hingga nyawa-nyawa yang melayang, namun ketidakcakapan pemerintah mengendalikan persebaran virus cuma akan menambah pelik penanggulangan wabah ini.
1. Penyelamatan masyarakat korban bencana wabah covid-19 dengan status KLB
Oleh karenanya, pemerintah daerah kami kira sudah perlu untuk mempertimbangkan untuk menerbitkan penetapan status Keadaan Luar Biasa (KLB) di Provinsi D.I. Yogyakarta. KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara epidemiolgi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Dari definisi ini, status KLB sebenarnya sudah dapat ditetapkan semenjak masa awal munculnya covid-19 di Provinsi D.I. Yogyakarta.
Terlebih, sejumlah syarat yang termuat pada Pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010, pun terpenuhi. Suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
- Timbulnya suatu penyakit menular tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
- Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
- Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya.
- Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
- Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
- Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
- Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Penetapan suatu daerah dalam keadaan wabah dilakukan apabila situasi KLB berkembang atau meningkat dan berpotensi menimbulkan malapetaka. Sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010, penetapan dilakukan dengan pertimbangan:
- Secara epidemiologis data penyakit menunjukkan peningkatan angka kesakitan dan/atau angka kematian.
- Terganggunya keadaan masyarakat berdasarkan aspek sosial budaya, ekonomi, dan pertimbangan keamanan.
Penetapan KLB bisa menjadi opsi penanggulangan di Provinsi D.I. Yogyakarta agar maksud dan tujuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (pasal 2), yakni melindungi penduduk dari malapetaka yang ditimbulkan wabah sedini mungkin, dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, dapat tercapai.
Dalam koridor pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penetapan KLB di Provinsi D.I. Yogyakarta juga selaras dengan ketentuan pasal 12 ayat 2 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Selain langkah-langkah pengobatan, negara wajib mengambil upaya pencegahan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik dan penyakit lainnya. Langkah ini perlu diselenggarakan supaya orang tetap dapat menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental. Ketentuan ini pun juga senapas dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular Dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 terkandung ketentuan mengenai upaya penanggulangan wabah (pasal 5), yaitu pencegahan dan pengebalan yang ditujukan untuk membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak, dan wabah tidak meluas ke daerah lain. Upaya penanggulangan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah ini mustinya dilaksanakan secara dini. Penanggulangan secara dini meliputi upaya penanggulangan seperlunya untuk mengatasi kejadian luar biasa yang dapat mengarah pada terjadinya wabah.
Bentuk dari pencegahan dan pengebalan tersebut, merujuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan dilaksanakan dengan antara lain:
- Pengobatan penderita sedini mungkin agar tidak menjadi sumber penularan penyakit, termasuk tindakan isolasi dan karantina.
- Peningkatan daya tahan tubuh dengan perbaikan gizi dan imunisasi.
- Perlindungan diri dari penularan penyakit, termasuk menghindari kontak dengan penderita, sarana dan lingkungan tercemar, penggunaan alat proteksi diri, perilaku hidup bersih dan sehat, penggunaan obat profilaksis.
- Pengendalian sarana, lingkungan dan hewan pembawa penyakit untuk menghilangkan sumber penularan dan memutus mata rantai penularan.
Paling sedikit, langkah pencegahan seperti dimaksud Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 ini diusahakan oleh pemerintah. Namun tentunya dengan tetap menautkan pada Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana lantaran di Provinsi D.I. Yogyakarta sedang terjadi bencana non alam. Dengan gubernur menerbitkan status tanggap darurat, sebenarnya pemerintah daerah memiliki keleluasaan untuk melancarkan gerakan penyelamatan terhadap masyarakat.
2. Karantina wilayah dalam koridor tanggap darurat dengan skenario penyelamatan
Berpegang pada ketentuan pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008, pada saat status keadaan darurat bencana ditetapkan, BNPB dan BPBD mempunyai kemudahan akses di bidang salah satunya, penyelamatan. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena
bencana, dilakukan melalui usaha dan kegiatan pencarian, pertolongan dan penyelamatan masyarakat sebagai korban akibat bencana. Kemudahan akses dalam penyelamatan tersebut, sebagaimana ketentuan pasal 46 ayat 1, dilakukan melalui pencarian, pertolongan dan evakuasi korban bencana. Sedangkan pasal 46 ayat 2, untuk memudahkan penyelematan korban bencana dan harta benda, kepala BNPB dan/atau kepala BPBD mempunyai kewenangan salah satunya: memerintahkan orang untuk keluar dari suatu lokasi atau melarang orang untuk memasuki suatu lokasi dan mengisolasi atau menutup suatu lokasi baik milik publik maupun pribadi.
Bila menilik definisi karantina wilayah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yakni pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi, maka ketentuan terkait kewenangan kepala BNPB dan/atau kepala BPBD dalam hal penyelamatan tersebut, sesungguhnya merupakan esensi dari karantina wilayah (lockdown) yang selama ini kerap diperdebatkan. Tanpa harus menunggu penetapan dari menteri seperti ketentuan pasal 49 ayat 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, dengan menggunakan skenario pasal 46 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008, sekelas kepala BPBD saja dapat melangsungkan upaya-upaya yang memerintahkan orang untuk keluar dari suatu lokasi atau melarang orang untuk memasuki suatu lokasi dan mengisolasi atau menutup suatu lokasi baik milik publik maupun pribadi.
Ketentuan ini harusnya dipandang oleh Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta sebagai peluang untuk melakukan pencegahan dan pengendalian lingkungan guna menghilangkan sumber penularan dan memutus rantai penularan. Ketika opsi penyelematan diambil, umpanya melarang orang untuk memasuki lokasi suatu lokasi (Yogyakarta), pemerintah daerah dapat lebih terpusat mengusahakan:
- Pemeriksaan, pengobatan dan perawatan pasien-pasien yang saat ini positif covid-19 atau berstatus PDP, dan pada penduduk yang ada di wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta.
- Fokus membereskan problematika yang selama ini muncul menyangkut kapasitas rumah sakit dan fasilitas kesehatan.
- Andaikata pun memungkinkan, dalam periode penyelamatan ini, pemerintah dapat melakukan tes massal kepada seluruh penduduk di Provinsi D.I. Yogyakarta sehingga terkonfirmasi jumlah warga yang positif covid-19 dan terpetakan di mana saja persebarannya. Sehingga kemudian terhadap yang positif bisa diupayakan langkah- langkah pengobatan dan perawatan dini di rumah sakit rujukan agar tidak menjadi sumber penularan penyakit dan terhadap lingkungannya dapat diselenggarakan pembersihan dengan penggunaan alat proteksi diri serta perilaku hidup bersih dan sehat.
- Sedangkan bagi pemudik/pendatang (pengungsi) yang terkena bencana pula, harus ditempatkan pada lokasi yang aman (semacam barak pengungsian) di sekitar pintu masuk perbatasan wilayah.
3. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
Selama berlangsung karantina wilayah dalam skema penyelamatan warga sesuai Undang- Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Pemerintah
Provinsi DIY sesungguhnya dapat memutuskan pemberlakuan PSBB. Secara hukum di level pusat, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19 dan ditelurkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Menurut pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. PSBB merupakan bagian dari respon kedaruratan kesehatan masyarakat (pasal 59 ayat 1). PSBB bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit kedaruratan kesehatan masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah (pasal 59 ayat 2). Sesuai ketentuan pasal 3 PP 21 tahun 2020, yang mengatur kriteria PSBB, kami melihat Yogyakarta sudah harus lekas menerapkan skema ini selain skenario karantina wilayah. Pasalnya pertama, jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah dan kedua, terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Sebelum penetapan PSBB, perlu juga diatur secara jelas dan rinci menyangkut hal-hal berikut:
- Menetapkan lokasi-lokasi sentral yang tetap boleh beroperasi, antara lain pasar tradisional, pasar modern, fasilitas kesehatan (apotek, puskesmas, rumah sakit dan sebagainya) baik swasta maupun pemerintah dari tingkat satu sampai lanjutan atau rujukan.
- Menyusun dan menerapkan mekanisme ‘pengamanan’ di lokasi-lokasi sentral tersebut guna meminimalisir resiko penyebaran covid-19. Penyusunan mekanisme ini perlu mempertimbangkan asas partisipatif, non diskriminatif, dan aksesibel.
- Memetakan kelompok terdampak yang paling rentan, misal kelompok marjinal ekonomi, kelompok difable, gender minoritas, penyedia layanan kesehatan, untuk mendapatkan kecukupan pangan sehari-hari dan suplai vitamin yang memadai.
- Memastikan perangkat pemerintah sampai level paling bawah (RT dan RW, atau pedukuhan) mempunyai mekanisme penanganan yang terintegrasi, terbuka dan terkontrol.
- Tidak melakukan upaya-upaya represif kepada warga (berhubungan dengan upaya penanganan lokasi-lokasi yang dianggap bertentangan dengan upaya PPSB misal pembatasan buka toko, warung, dan sebagainya) atau lebih mengedepankan tindakan- tindakan preventif dan non represif untuk memastikan PSBB berjalan dengan konsisten. Misal, daripada melakukan upaya penyegelan, penangkapan atau pembubaran, pemda perlu memiliki mekanisme yang berperspektif HAM atau hak asasi perempuan mengingat situasi ini memberikan dampak yang berbeda-beda pada individu atau kelompok.
4. Optimalisasi lahan pertanian untuk menciptakan lumbung pangan bagi pemenuhan kebutuhan pangan warga
Perlu diketahui, luas lahan pertanian sawah di Provinsi DIY pada 2019 ada 52.304,00 hektar dan luas lahan pertanian bukan sawah di tahun yang sama ada 220.084,39 hektar. Hampir di semua kabupaten, memiliki lahan-lahan produktif, antara lain di Kabupaten Kulonprogo.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kulonprogo, produksi tanaman pangan jenis padi sawah saja pada 2016 mencapai 116265.7 ton (selengkapnya lihat tabel di bawah ini).
Belum lagi jenis tanaman sayuran yang juga berlimpah. BPS Kulonprogo mencatat sebagai berikut:
Tumpah ruahnya produksi tanaman pangan maupun tanaman sayuran di Kulonprogo, termasuk di kawasan pesisir selatan, salah satunya dibuktikan dengan gerakan kebersamaan yang dilancarkan oleh Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo. PPLP menyumbangkan hasil pertanian untuk Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) membantu mereka yang terdampak pandemi virus corona atau covid-19.23 Para petani yang tergabung di PPLP, sudah mampu memenuhi kebutuhan pangan dari hasil pertanian sendiri. Bahkan hasil pertanian kerap surplus melebihi kebutuhan pangan petani, sehingga bisa untuk dijual.
Namun luas lahan pertanian berikut produksi tanamannya di Provinsi DIY akan berkurang manakala terjadi alih fungsi lahan. Dinas Pertanian DIY menyebut alih fungsi lahan pertanian produktif di DIY mencapai lebih dari 250 hektar per tahun. Alih fungsi lahan pertanian ini banyak terdapat di Kabupaten Sleman dan Bantul. Rata-rata, lahan ini dialihfungsikan untuk membangun perumahan, ruko dan fasilitas lain di luar pertanian, contoh lain seperti sebanyak 38 hektar lahan pertanian produktif di Kabupaten Sleman diperkirakan akan terkena dampak tol Yogyakarta-Solo. Di samping itu, sejumlah petani pesisir pantai di Kulonprogo malah terancam akan digusur. Rencananya, kawasan pertanian pesisir pantai sekitar 2.980 hektare akan dijadikan tambang pasir besi. Padahal, luasan lahan tersebut selain ditinggali juga menjadi lahan pertanian produktif.
Oleh karenanya, mengingat selama masa penyelamatan kebutuhan dasar warga tetap harus dipenuhi dan dlindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pemerintah mesti mengoptimalkan sumber-sumber pangan (lahan-lahan pertanian) yang
masih ada sekarang untuk kebutuhan jangka pendek seraya menyiapkan sebanyak-banyaknya cadangan pangan jangka panjang, untuk antisipasi kemungkinan terburuk karena musibah covid-19 sukar diprediksi kapan usai. Konkretnya, pertama pemerintah harus menghentikan proyek-proyek yang ditengarai mengubah fungsi lahan pertanian, seperti pertambangan ekstraktif, tol, hotel, apartemen, mal atau bangunan/fasilitas lain yang tidak penting dan mendesak. Dengan dihentikannya pekerjaan ini tentu tidak akan terjadi penyusutan produksi pertanian sehingga tercipta ketahanan pangan yang berkelanjutan. Kedua, anggaran yang digunakan untuk membiayai proyek alih fungsi lahan pertanian dapat digunakan untuk penanggulangan wabah covid-19, baik di sektor pertanian maupun kesehatan. Dalam hal pertanian misalnya, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, anggarannya dapat direalokasikan untuk pemberdayaan petani dengan pemberian fasilitas sumber pembiayaan/pemodalan (pasal 63 huruf c) atau digunakan untuk membangun infrastruktur penyokong lumbung pangan yang dikelola penuh oleh petani. Pembiayaannya tentu dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi, serta APBD kabupaten kota (pasal 66 ayat 1).
5. Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) untuk suplai kebutuhan dasar selama bencana
Pertumbuhan UKM di Provinsi DIY tercatat dua persen pertahunnya. Kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY, Srie Nurkyatsiwi menjelaskan, berdasarkan data yang dimiliki oleh instansinya, jumlah UKM tahun 2018 adalah sebanyak 259.581. Jumlah ini terdiri dari 141.991 usaha mikro, usaha kecil (64.896), usaha menengah (39.196), dan usaha besar (13.498). Di Sleman saja menurut data https://dinkopukm.slemankab.go.id/data- statistik/data-ukm/, antara lain terdapat 7435 UKM yang bergerak di sektor kuliner, 1066 di unit agrobisnis dan 14344 di bidang perdagangan dan jasa serta UKM di bagian yang lain.
Berjibunnya jumlah UMKM yang ada di Provinsi DIY, mesti ditangkap sebagai peluang bagi Pemerintah Provinsi DIY. UMKM dapat dilibatkan dalam penanggulangan wabah covid-19 yang sekurang-kurangnya diberdayakan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Seumpanya UMKM yang bergerak di jurusan jasa jahit, diberikan modal untuk membuat dan meningkatkan produksi APD bagi tenaga kesehatan atau masker untuk masyarakat umum. Sedangkan UMKM yang bergiat di blok kuliner diarahkan untuk menyokong kebutuhan pangan warga yang bahan bakunya sudah barang tentu harus diambil langsung dari petani dan pedagang pasar tradisional. Kelompok yang paling miskin dan rentan harus dinomorsatukan untuk mendapatkan kebutuhan dasar tersebut. Ujungnya, pemerintah juga mesti memberikan bantuan sosial-ekonomi kepada masyarakat miskin dan rentan. Dengan begitu, harapannya rantai ekonomi senantiasa terhubung dan sumber-sumber penghidupan akan terus berdenyut. Satu sektor membantu sektor yang lain.
D. TUNTUTAN
Berdasarkan uraian di atas, maka kami mendesak dan mendorong Pemerintah Daerah Provinsi D.I. Yogyakarta dan seluruh pemerintah daerah kabupetan/kota untuk segera:
- Menyusun strategi kebijakan yang konkret dalam penanggulangan wabah covid-19 untuk melindungi kesehatan dan keselamatan warga;
- Menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) karena wabah covid-19 di Provinsi D.I. Yogyakarta;
- Menjamin dan memastikan fasilitas kesehatan (rumah sakit rujukan) dapat diakses oleh siapa saja warga yang mengalami gejala covid-19 tanpa diskriminasi dan terjangkau secara ekonomi;
- Menjamin dan memastikan seluruh sarana kesehatan yang dibutuhkan untuk melakukan tes SWAB tersedia setiap waktu;
- Menyediakan informasi secara jujur dan transparan terkait kapasitas dan fasilitas rumah sakit rujukan;
- Memperbaiki pola koordinasi antar instansi, baik antara rumah sakit dengan rumah sakit rujukan, dengan gugus tugas dan pemerintah daerah;
- Memenuhi kebutuhan Alat Perlindungan Diri (APD) untuk tenaga kesehatan dan menjamin akan selalu tersedia ketika dibutuhkan;
- Mengalokasikan anggaran di dalam APBD untuk penanggulangan bencana non alam covid-19;
- Menerbitkan dan melaksanakan kebijakan yang diarahkan pada penghormatan, perlidungan dan pemenuhan, hak atas pangan bagi warga masyarakat yang terdampak wabah covid-19;
- Menghentikan proyek-proyek yang ditengarai akan mengubah fungsi lahan pertanian dan merealokasi anggarannya untuk penanggulangan covid-19, terutama di sektor pertanian (pangan) dan kesehatan;
- Mengoptimalkan lahan-lahan pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pangan dengan pemberdayaan petani;
- Melakukan upaya penyelamatan warga dengan karantina wilayah dan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB);
- Menyediakan tempat pengungsian bagi pemudik/pendatang (pengungsi) di sekitar pintu masuk perbatasan wilayah dan memastikan kebutuhan dasarnya dipenuhi.