Jurnalis Peliput Demonstrasi Penolak Omnibus Law Diserang
Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terbentuk dari proses demokrasi melalui pemilihan umum menunjukkan sisi otoriternya sepanjang 2020. Otoritarianisme itu diwujudkan melalui Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law Nomor 11 Tahun 2020. Aturan sapu jagat yang diteken Presiden Jokowi pada Senin, 2 November 2020 ini mengabaikan aspirasi publik.
Tindakan otoriter diperlihatkan melalui penangkapan dan kekerasan terhadap sejumlah jurnalis peliput demonstrasi Omnibus Law di berbagai daerah dan para aktivis penolak Omnibus. Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mencatat setidaknya ada 56 jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di berbagai daerah sepanjang 7-21 Oktober 2020. Jurnalis ditangkap, mengalami intimidasi, alat atau data hasil liputan dirusak, dan ruang gerak jurnalis dibatasi karena pengamanan oleh polisi yang berlebihan.
Di Yogyakarta, demonstrasi penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang terpusat di kawasan Malioboro Yogyakarta pada Kamis sore 8, Oktober 2020 diwarnai dengan penembakan gas air mata oleh polisi secara berlebihan yang berdampak bagi sejumlah jurnalis peliput demonstrasi tersebut. Sejumlah jurnalis melaporkan mengalami cedera kaki karena situasi yang ricuh dan ada jurnalis pers mahasiswa yang diduga dipukul aparat polisi. Kekerasan terhadap jurnalis dikategorikan melanggar UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Kekerasan ini menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap jurnalis oleh polisi.
Sikap AJI Yogyakarta terhadap UU Omnibus Law
AJI Yogyakarta secara tegas menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR RI pada 5 Oktober 2020. Lalu Presiden Jokowi meneken UU itu. UU Cipta Kerja ini telah merevisi UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dengan ketentuan baru yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran. Omnibus Law ini membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional. Ini melanggar UU Penyiaran. Padahal, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh.
Catatan AJI Indonesia menunjukkan UU Cipta Kerja memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran karena pasal 34 yang mengatur peran Komisi Penyiaran Indonesia dalam proses perizinan penyiaran, dihilangkan. Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain.
Ketentuan penting lain yang diubah Omnibus Law tentang penyiaran adalah diberikannya wewenang migrasi digital sepenuhnya kepada pemerintah. Padahal migrasi digital bukan hanya semata alih teknologi tetapi juga perubahan tata kelola penyiaran yang selayaknya diatur negara pada tingkat UU, bukan melalui Peraturan Pemerintah.
Selama pandemi Covid-19, pembahasan UU Cipta Kerja dikerjakan terburu-buru, tidak transparan, dan menabrak sejumlah UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU Ketenagakerjaan yang banyak direvisi dalam aturan itu mengurangi kesejahteraan dan membuat posisi buruh lebih lemah posisinya dalam hubungan ketenagakerjaan, termasuk pekerja media. Hal itu ditunjukkan melalui revisi sejumlah pasal tentang pengupahan, ketentuan pemutusan hubungan kerja, ketentuan libur, pekerja kontrak, hingga membatasi gerak serikat pekerja.
Sejumlah pengamat tata negara menyebutkan UU ini cacat hukum karena naskahnya mengalami sejumlah perubahan meski beleid telah disahkan di DPR. UU itu menuai polemik karena buruh menilai sejumlah pasal merugikan hak-hak mereka.
Menolak Impunitas Pembunuhan Jurnalis Udin
Tanggal 2 November 2020, dunia memperingati Hari Internasional Anti-Impunitas Kejahatan terhadap Jurnalis. Tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan tewasnya dua jurnalis stasiun radio Perancis Claude Verlon dan Ghislaine Dupont di Mali karena dibunuh setelah mewawancarai pemimpin politik lokal pada 2000. Impunitas ini menggambarkan rusaknya hukum dan sistem peradilan. Semua negara anggota PBB harus menerapkan langkah pasti untuk melawan praktek impunitas.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO menyebutkan dalam 14 tahun terakhir, hampir 1.200 jurnalis terbunuh karena melaporkan berita. Ada sejumlah kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia yang pembunuhannya tidak dihukum, satu di antaranya pembunuhan jurnalis Harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin pada Agustus 1966.
Selama 24 tahun tidak ada kepastian hukum penyelesaian kasus pembunuhan Udin. Setiap tanggal 16 setiap bulan, Koalisi Masyarakat untuk Udin berdiri di tengah terik matahari dan hujan di depan Gedung Agung untuk aksi diam dan damai memprotes pengabaian kasus Udin.
Nyawa Udin berakhir sehari sebelum peringatan Kemerdekaan Indonesia. Di tangan kekuasaan, Udin tewas tanpa mendapatkan keadilan. Perangkat hukum gagal menuntaskan kasus pembunuhan Udin selama 24 tahun.
Kematian Udin diduga kuat berkaitan dengan tulisannya yang kritis yaitu korupsi megaproyek Parangtritis. Udin juga menulis upaya Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo yang memberikan upeti Rp1 miliar kepada Yayasan Dharmais pimpinan Presiden Suharto menjelang pemilihan bupati baru di tahun itu. Tujuannya agar Sri Roso kembali menjadi bupati Bantul.
Udin dianiaya dua orang berbadan tegap dan berikat kepala berwarna merah hingga koma selama tiga hari. Dia meninggal setelah menjalani perawatan di rumah sakit pada 16 Agustus 1996. Kasus pembunuhan Udin memberikan catatan buruk hukum pidana dan utang kepolisian Indonesia. Profesionalisme polisi patut dipertanyakan.
Kematian Udin diduga kuat berhubungan dengan tulisan-tulisannya yang kritis, yakni korupsi megaproyek Parangtritis. Menjelang pemilihan bupati baru di tahun itu, Udin menulis upaya Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo memberikan upeti Rp 1 miliar kepada Yayasan Dharmais pimpinan Presiden Suharto. Tujuannya agar Sri Roso kembali menjadi bupati Bantul.
Setiap jurnalis berhak untuk bekerja tanpa rasa takut. Jurnalis memperjuangkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar, sekaligus mengontrol kekuasaan. Jurnalis tidak boleh bekerja dalam suasana ketakutan di bawah ancaman aparat, militer, milisi sipil, dan preman.
AJI mencatat kasus kekerasan terhadap jurnalis masih tinggi, mulai dari perampasan alat hingga pemidanaan. Dalam periode satu tahun terakhir, setidaknya ada 53 kasus kekerasan. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan kasus kekerasan pada periode yang sama tahun lalu sebanyak 42 kasus.
Jenis kekerasan terbanyak kekerasan fisik (18 kasus), perusakan alat atau data hasil liputan (14), ancaman kekerasan atau teror (8). Dari sisi pelaku kekerasan, polisi dan aparat penegak hukum yang menjadi pelaku terbanyak, yakni 32 kasus.
Terhadap tidak tuntasnya kasus pembunuhan jurnalis Udin dan kriminalisasi jurnalis yang terus menerus terjadi, Koalisi Masyarakat untuk Udin dan AJI Yogyakarta menyatakan sikap menolak penghentian kasus pembunuhan jurnalis Udin oleh pemerintah. Kasus Udin yang tidak tuntas diusut menjadi preseden buruk kebebasan pers Indonesia. AJI Yogya juga mengajak setiap orang untuk berusaha memperjuangkan akses informasi yang bisa diandalkan dan berita yang independen. Jurnalis di seluruh dunia seharusnya bekerja di lingkungan yang aman, bebas dari kekerasan, dan bebas dari sensor.
Persekusi Jurnalis Peliput Kantor Gereja Kristen Jawa Klasis Gunungkidul
AJI Yogyakarta mengajak jurnalis untuk tidak lelah menyuarakan persoalan intoleransi di daerah ini dan mendesak pemerintah daerah menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan setiap warganya. Yogyakarta dikenal sebagai daerah dengan berbagai kasus intoleransi yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Sejumlah lembaga yang fokus pada isu-isu keberagaman menempatkan Yogyakarta sebagai daerah dengan jumlah kasus intoleransi yang memprihatinkan. (Intoleransi di Bantul dan DIY Yogyakarta dalam 2014 hingga 2019)
Sepanjang tahun 2019 misalnya setidaknya terjadi tiga kasus intoleransi di Kabupaten Bantul. Polisi dan warga Dusun Mangir Lor membubarkan upacara leluhur Ki Ageng Mangir di Kecamatan Pajangan. Kemudian ada juga seorang pelukis di Yogyakarta, Slamet Jumirto yang ditolak mengontrak di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret pada April karena dia penganut Katolik.
Pada Juli tahun yang sama, warga menolak Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu. Bupati Bantul saat itu, Suharsono mencabut Izin Mendirikan Bangunan gereja tersebut. Hingga kini, pihak GPdI Sedayu harus pontang panting mengurus pendirian rumah ibadah di tempat baru selepas Pemkab Bantul mencabut izin mendirikan bangunan dan penolakan warga.
Pemkab Bantul adalah pihak yang paling bertanggung jawab mengabaikan janjinya untuk membantu proses perizinan gereja di tempat baru. Seharusnya Pemkab Bantul menjamin kebebasan beribadah warganya sesuai amanat konstitusi (Pasal 29 UUD 1945). (Susah Payah Membangun Gereja di Pojok Bantul)
Diskriminasi dan serangan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan juga terjadi di Kabupaten Gunungkidul. Upaya pengelola Gereja Kristen Jawa Klasis untuk mendapatkan IMB terjegal oleh penolakan warga dan pemerintah kabupaten setempat hingga sekarang.
Tokoh masyarakat dan pemkab setempat turut andil dalam mendiskriminasi pengelola GKJ Klasis untuk mendirikan kantor.
GKJ Klasis pernah didatangi organisasi masyarakat tertentu saat menggelar peletakan batu pertama calon kantor gereja. Padahal, GKJ Klasis yang diadvokasi Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta menang gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara karena berkas untuk mendapatkan IMB telah lengkap. Hingga kini, pemkab tidak mematuhi hasil putusan PTUN. (Di Balik Tidak Terbitnya IMB GKJ Klasis) (Aktor di Balik Penolakan Kantor GKJ Klasis Gunungkidul)
AJI Yogya mengajak setiap jurnalis berani menyuarakan berbagai bentuk diskriminasi dan serangan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang mendapatkan jaminan Undang-Undang Dasar 1945. AJI Yogyakarta mendorong jurnalis menghasilkan karya jurnalistik yang berprinsip pada penghormatan hak asasi manusia, menghormati keberagaman, serta menolak prasangka dan kebencian atas dasar keyakinan dan kepercayaan.
Saat meliput atau menjalankan kerja-kerja jurnalistik di Gunungkidul, dua jurnalis perempuan dari Tirto.id dan lembaga pers mahasiswa Balairung Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengalami intimidasi dan persekusi dari warga penolak pendirian kantor GKJ Klasis. Belasan warga yang mengepung dua jurnalis tersebut melarang keduanya untuk merekam dan memotret.
Selain itu, warga juga meminta kartu identitas berupa kartu tanda penduduk, surat rapid test, dan memotret dua jurnalis tersebut. Mereka berdua juga diusir oleh warga setempat. (GKJ Klasis Jogja, Perjuangan Minoritas Melawan Intoleransi)
Sikap warga itu tidak menghargai kerja jurnalis. Padahal tugas wartawan dilindungi oleh UU Pers. AJI Yogyakarta mengecam upaya penghalangan kerja jurnalis yang dilakukan oleh warga. Perbuatan itu termasuk pelanggaran pidana yang diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan denda maksimal Rp500 juta.
Jurnalis Peliput Pilkada Solo Diintimidasi
Pengurus AJI Yogyakarta, Zakki Amali mendapatkan ancaman dan larangan menulis nama narasumber saat liputan Pemilihan Kepala Daerah Solo. Berikut link beritanya: (Pilkada Solo: Dugaan Makelar KTP agar Gibran Tak Lawan Kotak Kosong)
Pada 1 Desember 2020, Zakki menghubungi Setiawan Heri Karyadi, anggota Satuan Intelkam Polresta Solo via WhatsApp. Konfirmasi dari Setiawan diperlukan karena namanya disebut sebagai pemberi dana seorang makelar KTP untuk calon independen Pilkada Solo. Saat konfirmasi, Setiawan meminta berita tidak ditulis dan mengancam akan mendatangi Zakki.
Kerja-kerja jurnalistik wartawan dilindungi oleh UU Pers. AJI Yogyakarta mengecam upaya penghalangan kerja jurnalis yang dilakukan oleh anggota Satuan Intelkam Polresta Solo tersebut. Perbuatan itu termasuk pelanggaran pidana yang diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan denda maksimal Rp500 juta.
Perusahaan Media Mengabaikan Keselamatan dan Kesejahteraan Jurnalis
Virus Corona membawa dampak luar biasa terhadap keselamatan dan kesejahteraan jurnalis. Pekerja media sangat rentan terinfeksi virus yang membunuh lebih dari 20 ribu orang di Indonesia. Perusahaan media punya kewajiban memberikan perlindungan terhadap pekerjanya. Dalam situasi pandemi ini, peran jurnalis sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi terpercaya dan literasi publik.
Berdasarkan hasil survei Divisi Advokasi AJI Yogyakarta, sejumlah jurnalis di Yogyakarta terdampak pandemi. Dari sebelas responden, ada empat responden yang mengalami pengurangan jumlah berita dan ini berdampak pada jumlah honor yang mereka terima. Selain itu, sejumlah jurnalis juga mengalami pemotongan upah, penundaan pembayaran gaji, dan pemutusan hubungan kerja.
Uang lembur yang mestinya diberikan, selama pandemi ditiadakan. Perusahaan media juga tidak mau menanggung pembengkakan biaya pulsa karena pekerjaan dilakukan secara daring. Ada juga perusahaan media yang tidak membekali alat pelindung diri untuk jurnalisnya yang berisiko tertular virus corona.
Peran Media Massa Sebagai Penjaga Demokrasi
Media massa punya peran penting menjaga prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers menjalankan prinsip-prinsip tersebut dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Media massa punya tanggung jawab menjalankan fungsinya yakni sebagai anjing penjaga atau watchdog. Media massa perlu mengawasi jalannya pemerintahan untuk memastikan kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi ini dijaga. Serangan atas kebebasan pers, intimidasi, dan pembungkaman publik harus dihentikan.
Jurnalis media arus utama, jurnalis komunitas, jurnalis pers kampus, pemerhati pers, lembaga bantuan hukum pers, aktivis organisasi non-pemerintah, peneliti, dosen, dan jaringan masyarakat sipil perlu terus berkolaborasi dan bekerja sama untuk melawan segala bentuk tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam situasi krisis karena pandemi, peran jurnalis sangat penting untuk menyampaikan informasi yang memenuhi standar jurnalistik dan bertanggung jawab ke publik. Di tengah berkembangnya teknologi, informasi palsu atau hoaks tentang pandemi Covid-19 menyebar begitu cepat melalui media sosial. Jurnalis berperan penting untuk memastikan seluruh karya jurnalistiknya akurat, independen, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistiknya, jurnalis sudah selayaknya mendapatkan dukungan dan jaminan keselamatan dari perusahaan media. Perusahaan media perlu memiliki protokol kesehatan dan panduan peliputan yang aman untuk menjaga keselamatan para jurnalis dan pekerja media. Protokol itu meliputi langkah pencegahan dan penanganan jika jurnalis terinfeksi Covid-19. Selain itu, perusahaan media juga wajib menyediakan alat pelindung diri.
Kontak untuk informasi lebih lanjut:
Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani : [email protected]
Sekretaris AJI Yogyakarta, Ahmad Mustaqim: [email protected]
Email AJI Yogyakarta: [email protected]