Divisi Gender dan Kelompok Marjinal AJI Yogyakarta
Kematian George Floyd pada 25 Mei 2020 oleh polisi di Amerika Serikat, menyulut kemarahan banyak orang di berbagai negara melalui gerakan protes Black Lives Matter (BLM). Mereka berdemonstrasi untuk menuntut keadilan dan kemudian mendapat dukungan masyarakat.
Di Indonesia, sebagian orang membandingkan apa yang terjadi di AS dengan penindasan di Papua dan memunculkan tagar #PapuanLivesMatter di media sosial.
Slogan Papuan Lives Matter diperbincangkan karena adanya kekerasan terhadap warga Papua atas nama kedaulatan dan keamanan Indonesia, dan mirip dengan kekerasan yang dialami keturunan African American. Momentum Black Lives Matter menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran publik bahwa rasisme tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tapi juga di Indonesia.
Apa yang dialami Floyd, tidak berbeda jauh dengan apa yang dialami Obby Kogoya dalam peristiwa pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Yogyakarta pada 2016. Pengepungan dan rasisme dialami penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada Agustus 2019 dengan tuduhan penghuni Asrama mematahkan tiang bendera merah putih di halaman depan Asrama. Diskriminasi berbasis ras karena menempatkan masyarakat Papua di bawah kelompok mayoritas membuat warga Papua dan Papua Barat marah.
Tuduhan tersebut menjadi landasan ormas dan aparat untuk melakukan intimidasi dan mengeluarkan ujaran rasis yang videonya beredar luas di media sosial. Padahal, tuduhan perusakan tiang bendera oleh penghuni asrama tidak pernah terbukti hingga hari ini.
Sejumlah media massa gagal menyajikan konteks peristiwa dengan baik. Mereka lemah memverifikasi data dan tidak berimbang. Pemberitaan sejumlah media malah menghasilkan disinformasi yang justru memperuncing konflik.
Contoh pemberitaan pengepungan Asrama Mahasiswa Surabaya dipublikasikan Kumparan. Media online ini merilis berita berjudul “Penghuni Asrama Papua di Surabaya Akui Patahkan Tiang Bendera”. Berita diunggah pada 16 Agustus 2019. Berita ini dapat dibaca online selama beberapa hari. Kumparan lalu mengganti judul berita menjadi “Penghuni Asrama Papua Ralat Keterangan Insiden Tiang Bendera Patah” (21 Agustus 2019) yang menjelaskan penghuni asrama tidak merusak bendera seperti yang dituduhkan.
Dalam keterangan ralat, narasumber dari pihak penghuni asrama bernama Papuana, yang mulanya memberikan pernyataan benar terkait perusakan bendera oleh penghuni asrama, mengaku salah menangkap maksud dari pertanyaan reporter Kumparan sehingga memberikan jawaban yang tidak akurat.
Berita yang diturunkan Kumparan itu bermasalah karena mengabaikan konteks besar peristiwa. Apalagi, mahasiswa Papua Surabaya tidak mengenal narasumber Kumparan ini, bahkan ada pihak yang mencurigainya sebagai narasumber fiktif.
Dengan memahami latar ini, maka tuduhan perusakan tiang bendera merah putih bukan hal sepele, lantaran sangat berpotensi menjadi bahan bakar amarah massa reaksioner. Hal ini seharusnya menjadi bekal pewarta dan awak redaksi untuk menggunakan nalar kritis dan mengedepankan penggalian informasi seakurat mungkin, meski berita tersebut merupakan bagian dari berita lanjutan.
Beberapa media berupaya menulis dengan lebih seimbang. Suara misalnya, menerbitkan “Ditembaki Gas Air Mata, Polisi Angkut Paksa Mahasiswa Papua Kasus Bendera” (17 Agustus 2019). Suara menyajikan kronologi lebih lengkap, termasuk alasan penghuni asrama bersikukuh tetap tinggal, hingga tanggapan perwakilan mahasiswa Papua penghuni asrama atas tuduhan perusakan bendera.
Tirto.id mengunggah “VIDEO: Polisi Gagal Mengatasi Rasisme di Asrama Mahasiswa Papua” (22 Agustus 2019). Tirto.id menyebut penggunaan gas air mata sebagai tindakan sembrono. Berdasarkan Perkap 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, terdapat enam tahapan yang semestinya dilewati secara runut, namun dilangkahi oleh polisi.
Dalam meliput tentang Papua media gagal memahami akar konflik Papua yang kemudian menggiring opini publik pada satu kebenaran narasi tunggal. Apalagi dengan hanya menyertakan satu sumber, yaitu kepolisian atau otoritas negara yang lain yang membungkam narasi kritis walau berbasis data. Jurnalisme semestinya melakukan kontrol sosial.
Laporan Human Right Watch tahun 2015 berjudul “Something to Hide? Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua” (PDF) menyebut Presiden Jokowi mencabut larangan akses peliputan pada jurnalis asing per Mei 2015. Masalahnya, setelah itu malah terjadi insiden pengusiran jurnalis asing yang meliput di Papua.
Lebih dari 25 tahun terakhir, jurnalis asing yang ingin mewartakan kondisi Papua harus mengajukan permohonan akses melalui clearing house (lembaga kliring) yang melibatkan berbagai lembaga, diawasi oleh Kementerian Luar Negeri, dan melibatkan 18 unit kerja dari 12 kementerian yang berbeda, termasuk kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Rasisme Indonesia terhadap orang Papua dimulai sejak tentara Indonesia menginjakkan kaki ke Tanah Papua pada 1962 dalam pakaian UNTEA. Rasisme itu dipelihara selama puluhan tahun dengan frasa-frasa yang seolah-olah orang Papua harus merasa memiliki utang budi pada Indonesia karena pembangunan yang telah dilakukan selama puluhan tahun.
Ucapan dan tindakan rasis dialami orang Papua yang merantau ke wilayah lain di Indonesia. Persis seperti Timor Leste dulu, Benedict Anderson mencontohkan bahwa dalam pergaulan sosial, orang-orang Timor Leste di Indonesia kerap kali dituding “tidak tahu berterima kasih” untuk apa yang telah diberi Indonesia. Hal seperti ini juga dialami orang Papua hari ini di berbagai wilayah di seluruh Indonesia.
Menurut Anderson, frasa seperti ini menunjukkan posisi superior. Hal semacam ini lekat dengan rasisme dan memperlihatkan kegagalan ‘mengindonesiakan’ orang-orang Timor Leste. Sama seperti mereka juga gagal ‘mengindonesiakan orang Papua hari ini.
Diskusi Divisi Gender dan Kelompok Marjinal AJI Yogyakarta hendak membahas bagaimana jurnalis meliput isu rasisme di Papua dan menggunakan perspektif hak asasi manusia. Diskusi ini digelar pada Sabtu, 13 Juni 2020 pukul 14.00-selesai.
Pembicara diskusi yakni:
1. Jurnalis senior Papua, Victor Mambor.
Jurnalis Papua dalam memberitakan isu HAM.
2. Jurnalis Lepas penulis isu-isu Papua, Febriana Firdaus.
Menakar Perspektif HAM Papua dalam frame media nasional dan Internasional.
3. Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar.
Pemberitaan media terkait kasus rasisme dan makar di Papua.
4. Peneliti Papua, Dr. Nino Viartasiwi.
Peran media masa dalam membangun gambaran tentang Papua di Indonesia.
5. Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr. Yoseph Yapi Taum.
Melihat lebih dekat diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Moderator: Koordinator Divisi Gender dan Kelompok Marjinal AJI Yogyakarta,
Aprila Wayar
Sumber:
https://theconversation.com/membandingkan-gerakan-black-lives-matter-di-amerika-dan-papuan-lives-matter-di-indonesia-apa-yang-sama-apa-yang-beda-140069
https://www.suara.com/news/2020/06/01/075544/aktivis-kasus-george-floyd-di-as-tak-beda-jauh-dengan-rasisme-papua
https://www.remotivi.or.id/amatan/543/media-dan-diskriminasi-rasial-terhadap-papua
https://kumparan.com/kumparannews/penghuni-asrama-papua-ralat-keterangan-insiden-tiang-bendera-patah-1rg5L1NJLF3
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4668757/tolak-kibarkan-merah-putih-asrama-mahasiswa-papua-digeruduk-warga
https://tirto.id/video-polisi-gagal-mengatasi-rasisme-di-asrama-mahasiswa-papua-egLA