Oleh: Bambang Muryanto, anggota AJI Yogyakarta
Akhir April ini, delapan media massa yang menerbitkan liputan
kolaborasi soal tidak tercatatnya pasien meninggal akibat pandemi
COVID-19 di Yogyakarta, memuat sebuah fakta mengejutkan. BS, seorang
pria asal Sleman (47 tahun) yang menunjukkan gejala COVID-19
meninggal, Selasa (31/3) ketika menjalani isolasi mandiri di rumah
karena rumah sakit rujukan dimana ia berobat penuh.
Andai saja BS yang mengalami sesak napas itu bisa dirawat secara
intensif di rumah sakit swasta yang didatanginya, Sabtu (28/3) ada
kemungkinan pasien berstatus PDP (pasien dalam pengawasan) bisa
ditolong nyawanya. Jika rumah sakit tempat BS berobat penuh, apakah ia
disarankan agar menjalani perawatan medis di rumah sakit rujukan
lainnya?
Bagaimana tata kelola jika ada pasien yang ingin berobat karena
mungkin sudah terinfeksi COVID-19? Apakah ada koordinasi antara 25
rumah sakit rujukan COVID-19 di Yogyakarta?
Kasus BS bukan satu-satunya, media massa juga pernah melaporkan RS Nur
Hidayah, Bantul mengalami kesulitan mengirimkan tiga pasien bergejala
COVID-19 yang kondisi kesehatan memburuk ke rumah sakit rujukan
Covid-19. Menurut berita itu, lagi-lagi semua rumah sakit rujukan
COVID-19 di Yogyakarta tidak bisa menerima pasien lagi karena penuh.
Setelah Ketua IDI Bantul, dr. Sagiran berkeluh kesah di media sosial
soal nasib tiga pasien itu, Senin (30/3) akhirnya mereka bisa dirujuk,
dua ke RSUP Dr. Sardjito dan satu ke RS UII. Namun terlambat, beberapa
jam kemudian, dua pasien yang dirawat di RSUP Dr. Sardjito
menghembuskan nafas terakhir.
Kasus yang menimpa BS yang diikuti tiga pasien dari RS Nur Hidayah,
Bantul itu terjadi tidak terpaut lama. Apakah menjelang akhir Maret,
25 rumah sakit rujukan COVID-19 penuh semua?
Sayang, Data Posko Terpadu Penanganan COVID-19 DIY Posko ini tidak
mencantumkan berapa orang pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit
pada 28 Maret. Tetapi pada 31 Maret, Posko mencatat dari 24 orang
positif COVID-19, 19 orang dirawat di rumah sakit rujukan dan ada 110
dari 129 orang sedang menunggu uji laboratorium (untuk memastikan
positif atau negatif COVID-19) menjalani rawat inap di rumah sakit.
Jika data di atas jadi rujukan, apakah itu berarti kapasitas seluruh
rumah sakit rujukan COVID-19 di Provinsi DIY hanya mampu menangani
sekitar 129 orang?
Dalam grup whatsapp jurnalis yang meliput COVID-19 di Provinsi DIY,
juru bicara Pemerintah Daerah (Pemda) DIY untuk penanganan COVID-19,
Berty Murtiningsih pernah menjawab pertanyaan saya soal kapasitas
rumah sakit rujukan.
“Ada 12 (bed) untuk critical dan 243 (bed) untuk non critical,” tulis
Berty, Rabu (1/4).
Belakangan, Berty mengatakan untuk crtitical yang berfasilitas
ventilator ada 19 dan non critical ada 250, Sabtu (2/5).
Nah ketika BS dan tiga pasien dari RS Nur Hidayah, Bantul sulit
mengakses rumah sakit rujukan, apakah fasilitas untuk pasien yang
kritis, penuh? Mengapa setelah dr. Sagiran “berkicau” di media sosial,
tiga pasien dari RS Nur Hidayah, Bantul bisa dibawa ke rumah sakit
rujukan? Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah waktu itu ada kekurangan
tenaga medis?
Tidak ada jawaban pasti!
Sejak status tanggap darurat penanganan COVID-19 pada 20 Maret, Pemda
DIY yang memiliki tanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan
warganya tidak pernah secara terbuka menjelaskan kapasitas medis di
wilayahnya secara detail dalam menangani pasien COVID-19. Pertanyaan
saya melalui grup whatsapp jurnalis peliput pandemi COVID-19 soal
berapa jumlah dokter dan para medis yang menangani COVID-19 juga tidak
direspon Berty Murtiningsih.
Atas keluhan masyarakat sipil, Komisi Informasi Daerah (KID) DIY
mengirim surat No:480/030 dengan kategori penting kepada Ketua Gugus
Tugas Penanganan COVID-19 DIY, (2/4). KID DIY menilai gugus tugas ini
belum optimal dalam memberikan informasi publik dan meminta agar Tim
Gugus Tugas Penanganan COVID-19 DIY memberikan informasi-informasi
penting kepada masyarakat seperti mekanisme dan alur rujukan ketika
pasien berada di rumah sakit rujukan, ketersediaan kamar pasien,
tenaga medis dan alat pelindung diri (APD) bagi petugas kesehatan.
Seorang komisioner KID DIY mengatakan hingga saat ini Ketua Tim Gugus
Tugas Penanganan COVID-19 DIY belum menjawab surat dari KID DIY itu.
Tim ini juga belum pernah menjelaskan secara detail semua permintaan
informasi dari KID DIY itu kepada publik, ada apa?
Padahal penjelasan pemerintah DIY soal kemampuan rumah sakit dalam
menangani pasien COVID-19 dan informasi penting lainnya bisa jadi
pertimbangan bagi masyarakat agar bersikap lebih hati-hati. Misalnya,
memilih lebih disiplin tinggal di rumah, memakai masker dan melakukan
physical distancing (jaga jarak) agar tidak tertular mengingat
fasilitas kapasitas rumah sakit yang sangat terbatas.
Kita tentu tidak bisa menutup mata, jumlah orang positif COVID-19
terus meningkat di Provinsi DIY. Data Posko Penanganan COVID-19 DIY
menyatakan ada 114 orang positif per Sabtu (2/5), meningkat tajam dari
hanya 1 orang pada 15 Maret. Oh ya jangan lupa, Tim Gugus Tugas
Penanganan COVID-19 juga menyatakan sudah ada penularan lokal hingga
generasi 3, artinya ada tiga jenjang penularan di Provinsi DIY.
Dengan bekal informasi penting dan lengkap, masyarakat bisa memahami
pentingnya pemutusan rantai penularan COVID-19 agar overload pasien di
rumah sakit rujukan tidak perlu terjadi. Jika orang yang positif
COVID-19 membludak maka mereka tidak bisa dirawat dengan intensif di
rumah sakit sehingga bisa berujung pada kematian.
Pemda DIY bisa belajar dari pengalaman Italia yang termasuk memiliki
sistem kesehatan terbaik. Sayangnya, fasilitas rumah sakit tidak bisa
menampung seluruh pasien COVID-19 yang membludak sehingga banyak
pasien yang meninggal, prosentase kematian akibat COVID-19 di Italia
mencapai 8 persen, dua kali lipat dari China yang mencapai 4 persen.
Dalam serial diskusi online tentang penanganan Covid-19 yang
diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah
Mada (Fisipol UGM), ahli komunikasi Kuskridho (Dodi) Ambardi
mengatakan pemerintah perlu memberikan informasi berdasarkan data yang
akurat, Selasa (7/4).
“Informasi soal data itu penting karena akan menggerakkan insting
survival bagi setiap individu maupun kolektif dari desa hingga
provinsi dalam menghadapi COVID-19,” ujarnya.
Dodi juga mengatakan penyediaan semua informasi yang dibutuhkan
masyarakat itu juga bisa memperkuat kredibilitas pemerintah dalam
menangani pandemi COVID-19.
Dalam situasi pandemi ini, pemerintah wajib memberikan semua informasi
yang dibutuhkna masyarakat agar bisa selamat termasuk soal kapasitas
medis dalam menangani COVID-19. Menurut UU Keterbukaan Informasi
Publik, informasi semacam itu bukan termasuk kategori rahasia atau
dikecualikan, sebaliknya justru perlu diketahui masyarakat luas agar
mereka bisa menuruti naluri alamiahnya untuk menyelamatkan diri.
Informasi adalah kunci masyarakat berdaya!