AJI Yogya – Yayasan Vesta Indonesia menggelar Diskusi Lintas Sektor dengan tajuk “Pelayanan yang Komprehensif dan Inklusif Bagi Masyarakat di Pesonna Tugu Hotel Yogyakarta, Selasa (5/11).
Diskusi ini menghadirkan empat orang narasumber lintas sektor. Adapun keempat narasumber tersebut adalah Akhmad Akhadi S, Direktur Rumah Sakit Grhasia DIY; Agung Supriyono, Kepala Badan Kesbangpol DIY; Arif Nur Safri, Dosen Institut Ilmu al-Qur’an al-Fatah Yogyakarta dan Hendri Wijayatsi, Praktisi pendidikan di Universitas Kristen Duta Wacana, Praktisi Sosial.
Kondisi lapangan yang dicermati Vesta melandasi diskusi ini adalah layanan kesehatan HIV/AIDS di DIY lengkap dan berjalan baik, layanan sosial juga telah berjalan dengan cukup baik. Hanya beberapa tantangan antara lain akses pelayanan kapasitas (skill) pada kelompok Trans Gender (TG) semakin berkurang dibanding tahun-tahun belakangan, masih ada komunitas mengalami kejadian tidak menyenangkan dikarenakan identitas gender atau orientasi seksualnya, persoalan identitas (KTP) misalnya pada kelompok TG dan riskan bagi komunitas yang bekerja di jalan seperti pemulung, pengamen dan lain-lain.
“Ada beberapa tantangan dalam pelayanan HIV-PMS diantaranya adalah terbatasnya akses dan utilitas dalam pelayanan,” papar Akhmad Akhadi.
Selain itu, lanjutnya logistic dan SDM yang memadai, stigma dan diskriminasi di layanan dan juga rendahnya pengetahuan tentang HIV-AIDS dan IMS di kalangan tenaga kesehatan.
“Hal yang memprihatinkan saat ini adalah dengan mudahnya penyedia layanan BPJS membatasi layanan dan hal itu terjadi tanpa kita sadari,” katanya.
Di tempat yang sama, Agung Supriyono mengatakan bahwa semua warga negara memiliki hak untuk dilindungi. Untuk itu, masyarakat diharapkan taat pada aturan.
“Beberapa kondisi Yogya terkini misalnya, berdasarkan data Polda DIY, terdapat 3.426 mahasiswa Papua di Yogyakarta memiliki potensi konflik yang juga butuh layanan,” ujarnya.
Selain itu, Agung Supriyono menyorot kinerja media. Menurutnya, untuk beberapa kejadian yang sebenarnya kecil tetapi karena pemberitaan media malah menjadi besar. Ada banyak kasus seperti ini.
“Misalnya berita kasus Pleret soal larangan non muslim masuk. Sebenarnya regulasi telah dibuat pihak kampong tersebut pada 2015 tetapi menjadi berita besarnya pada tahun ini,” lanjutnya.
Menurutnya, persoalan utama di sini adalah kurangnya komunikasi yang intensi antar berbagai kelompok dan golongan saja. (AJIYO/Aprila)