Kerangka Diskusi Online Divisi Gender dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta
Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah kasih sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seseorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.
Itulah satu di antara surat pemikir feminisme Indonesia, Kartini yang ia tulis untuk sahabat korespondensinya, Rosa Abendanon-Mandri, isteri Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Kumpulan surat Kartini tertulis pada buku berjudul Door Duisternis tot Licht, Gedachten van RA Kartini atau Habis Gelap Terbitlah Terang.
Surat Kartini menggambarkan gagasan keberagaman dan keingintahuan Kartini tentang agama, lebih dari sekadar formalitas. Ia haus akan pengetahuan tentang agama. Kartini tidak hanya belajar Islam, tapi juga mempelajari Buddha melalui buku Buddhisme karya Fielding. Dalam Buddhisme yang ia pelajari, cinta mengalahkan kejahatan. Pemberontak sosial ini juga belajar tentang Hindu dari Pandita Ramabai, perempuan Hindu yang menggagas perlawanan terhadap nasib buruk perempuan yang dianiaya karena adat dan agama.
Kartini membaca Zangwil Droomen van he Ghetto atau Impian dari Ghetto yang berkisah tentang keadaan sosial yang sangat buruk pada perkampungan-perkampungan Yahudi di London.
Kartini belajar agama Kristen dengan mempelajari Injil. Dia pernah datang saat pentasbihan Gereja Kedung Penjalin.
Keturunan ningrat Jawa ini menganut agama Islam. Dalam surat-suratnya kepada sahabat penanya di Belanda, Stella Zeenhandelaar, Kartini mengungkapkan bahwa dia menjadi seorang Muslim karena agama warisan dari kedua orang tuanya. Dia resah karena hanya bisa membaca Al Quran secara harfiah, tidak mengerti isinya. Ia kemudian mengikuti pengajian Kiai Sholeh Darat yang digelar di rumah paman Kartini, Pangeran Ariya Hadiningrat, Bupati Demak. Kartini sangat tertarik pada pengajian Kiai Sholeh, yang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah dalam Bahasa Jawa.
Pemikiran tentang keberagaman, kebebasan, dan kemerdekaan inilah menjadi kontribusi penting Kartini yang perlu terus dibicarakan dalam masa sekarang. Perempuan yang lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah dan pemikirannya layak terus menerus dikaji. Satu di antaranya melalui diskusi. Mengembangkan demokrasi dan keberagaman merupakan satu di antara misi Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta. Gagasan Kartini juga cocok dengan misi AJI lainnya yakni memperjuangkan isu perempuan dan kelompok marjinal.
Satu di antara kelompok marjinal yang mendapatkan diskriminasi adalah agama Baha’i. Padahal, keberagaman adalah bagian penting dari penghormatan terhadap hak asasi manusia, hak untuk menganut kepercayaan apapun secara universal diakui dalam Deklarasi Universal HAM. Konstitusi, yakni pasal 29 UUD 1945 juga menjamin kebebasan beragama.
AJI Yogyakarta ingin mengajak publik mengenal lebih dekat penganut Baha’i. Inti ajaran Baha’i menyangkut keesaan Tuhan, ketunggalan umat manusia, dan visi perdamaian dunia.
Agama Baha’I adalah agama independen yang bersifat universal, bukan sekte dari agama lain. Pembawa wahyu agama Bahai adalah Baha’u’llah (Kemuliaan Tuhan) yang kedatangannya didahului Bentara-Nya yang bergelar Sang Bab (Gerbang). Baha’u’llah mengumumkan tujuan agamanya yaitu mewujudkan transformasi rohani dalam kehidupan manusia dan memperbarui lembaga-lembaga masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keesaan Tuhan. Dasar semua agama berasal dari satu sumber surgawi dan persatuan seluruh umat manusia.
Pada tahun 1863, Baha’u’llah mengumumkan misi-Nya tentang kesatuan umat manusia serta mewujudkan keselarasan antara agama-agama. Selama 40 tahun ia banyak menulis wahyu yang diterima-Nya dan menjelaskan secara luas tentang keesaan Tuhan, kesatuan agama, serta kesatuan umat manusia, dalam kurang lebih 100 buku.
Agama Baha’i pertama kali tiba di Indonesia pada 1885. Baha’I percaya, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Dia bersifat tidak terbatas, tak terhingga dan Maha Kuasa. Tuhan tidak dapat dipahami dan manusia tidak bisa memahami Keilahian-Nya. Oleh karena itu, Ia membuat dirinya dikenal manusia melalui utusannya, diantaranya: Ibrahim, Musa, Krisna, Zoroaster, Budha, Isa, Muhammad dan Baha’u’llah.
Dalam perjalanannya AJI sebagai organisasi profesi memberi tempat penting bagi isu-isu gender dan kelompok marjinal. Kehadiran Baha’i sebagai agama yang juga diakui keberadaannya dan juga dilindungi oleh Menteri Agama Republik Indonesia melalui surat Nomor: MA/276/2014.
Keberadaan kelompok minoritas satu di antaranya, Baha’i menjadi perhatian AJI Yogyakarta sebagai organisasi profesi jurnalis.
Dalam penerapan nilai-nilai agamanya, Baha’i sangat menghargai perempuan dan mengakui kesetaraan gender. Hal itu selaras dengan nilai-nilai yang diperjuangkan AJI.
Divisi Gender dan Kelompok Marjinal AJI Yogyakarta mengajak publik mengenal agama Baha’i melalui diskusi yang digelar secara online di tengah pandemi Covid-19. Diskusi digelar pada Senin, 20 April 2020 pukul 16.00. Silakan melihat poster untuk berpartisipasi dalam diskusi ini. Terima kasih.
Nomor kontak yang bisa dihubungi:
Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani (082137190912)
Koordinator Divisi Gender dan Kelompok Marjinal, Aprila Wayar (081393652921).