YOGYAKARTA—Menjelang pemilu 2024, politik identitas diperkirakan masih akan muncul kembali. Politik identitas yang menyasar kelompok minoritas sebagai korban kerap digunakan untuk mendulang suara dari mayoritas. Kelompok Ahmadiyah memiliki pengalaman panjang menjadi korban politik identitas.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, menuturkan politik identitas dalam tata kebhinekaan Indonesia jangan dibaca dari sudut pandang dan ruang kosong yang seakan-akan politik identitas itu sesuatu yang netral. Politisasi identitas terutama dalam bentuk politisasi agama berbahaya dan mengancam demokrasi dan kebhinekaan Indonesia.
Menurutnya, politik identitas telah menjadi salah satu instrument reguler dalam pemilu. Tidak hanya terjadi di DKI, namun daerah lain seperti pilkada di Jawa Barat, Sumatera dan lainnya juga lumayan masif. “Kalau ditanya apakah masiha kan berlangsung pemilu mendatang? saya akan sangat yakin menyebut iya,” ujarnya dalam Workshop Seri Kedua Politik Identitas dan Perlindungan Kelompok Minoritas di Tahun Politik, Fellowship AJI Yogyakarta, secara daring, Rabu (22/11/2023).
Beberapa alasan kenapa politik identitas masih sangat mungkin terjadi karena pertama, basis masyarakat kita yang belum kuat. Kedua, kuatnya budaya patron-klien di Indonesia. “Ada patron yang sering menggunakan sentimen kebencian kepada yang lain sebagai instrumen untuk mendapat keuntungan elektoral,” katanya.
Ketiga, belum adanya instrumen hukum yang kuat untuk mencegah praktek politik identitas. “Masih lemahnya kesadaran bersama membangun perangkat hukum yang lebih memberikan efek jera bagi penegakan hukum atas pelanggaran politisasi identitas dalam hajatan elektoral kita,” ujarnya.
Berdasarkan data SETARA Institute, sejak 2017 hingga 2022, selalu terjadi ratusan kasus pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Pada 2017 ada 156 kasus, 2018 ada 160 kasus, 2019 ada 200 kasus, 2020 ada 180 kasus, 2021 ada 171 kasus dan 2022 ada 175 kasus.
Dalam kurun 2017-2022, kasus gangguan tempat ibadah juga cenderung meningkat. Pada 2017 ada 16 kasus, 2018 ada 20 kasus, 2019 ada 31 kasus, 2020 ada 24 kasus, 2021 ada 44 kasus dan 2022 ada 50 kasus. Pada 2022, gangguan ini terjadi pada 21 gereja, 16 masjid, enam wihara, empat mushola, dua pura dan satu tempat ibadah penghayat.
Ahmadiyah menjadi salah satu kelompok minoritas yang kerap menjadi korban politik identitas. Sederetan kasus persekusi terhadap jemaat Ahmadiyah terjadi merentang dari awal dekade 2000-an hingga menjelang pemilu 2019.
Sekretaris Pers Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiana, menceritakan peristiwa penyerangan Ahmadiyah besar-besaran terjadi pada 2005, tak lama setelah pelaksanaan pemilu 2004. Waktu itu, Gerakan Umat Islam Bersatu bersama sejumlah kelompok lain menutup kantor pusat Ahmadiyah di Bogor, Jawa Barat.
Persekusi tak hanya terjadi di kantor pusat Ahmadiyah, namun juga berupa penutupan masjid, penghentian kegiatan dan sebagainya di sejumlah wilayah. Fenomena ini tak lepas dari kebijakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menerbitkan fatwa bahwa Ahmadiyah bukan bagian dari Islam.
Pada waktu itu, muncul narasi dengan diksi sesat untuk kelompok yang dianggap berbahaya, yang kemudian melahirkan gerakan semacam legalisasi bahwa kelompok tersebut sah untuk dipersekusi. “Media memiliki peran signifikan dalam menggelontorkan persepsi yang salah tentang Ahmadiyah dan membangun opini ahmadiyah kelompok sesat, berbahaya,” katanya.
Pada pemilu 2009, isu Ahmadiyah dipolitisasi. Waktu itu, banyak sekali politisi atau kelompok yang terafiliasi dengan parpol peserta pemilu menebar janji politik untuk membubarkan Ahmadiyah, menutup masjid ahmadiyah dan sebagainya. “Itu pilpres 2009. Lalu ada peristiwa Sikeusik 2011, tiga orang Ahmadiyah terbunuh diserang kelompok masyarakat,” ungkapnya.
Menurutnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya persekusi terhadap Ahmadiyah dan kenapa media turut memperparahnya. Media tidak punya koneksi dengan muslim Ahmadiyah, sehingga tidak tahu harus kemana untuk meng-counter isu. Di sisi lain Ahmadiyah mempunyai miss-persepsi dengan media.
“karena ketika mengalami penyerangan, Ahmadiyah berharap penegakan hukum dibantu media, tapi malah lebih menginformasikan statmen dari aparat. Tidak ada komentar apapun dari Ahmadiyah. Kedua, media tidak mempunyai background apapun soal Ahmadiyah itu apa, sehingga tidak punya perspektif sama sekali untuk membicarakan Ahmadiyah,” katanya.
Menyikapi hal tersebut, Ahmadiyah pun kini berupaya untuk lebih dekat dan mengedukasi masyarakat, khususnya media. “Kami ajak live in, pertama mengundang masyarakat termasuk media. kami persilakan melihat dengan dekat masyarakat ahmadiyah. Keseharian dan ibadahnya seperti apa,” ungkapnya.
Dengan mengetahui lebih jelas apa itu Ahmadiyah, apa saja yang dilakukan, diharapkan masyarakat dan media memiliki perspektif lebih baik dalam memandang Ahmadiyah. Hal ini pun diharapkan dapat menekan dampak politik identitas.
Workshop Seri Kedua Politik Identitas dan Perlindungan Kelompok Minoritas di Tahun Politik ini merupakan rangkaian program Fellowship AJI Yogyakarta yang diikuti oleh 15 peserta dan terbuka untuk umum melalui live Youtube AJI Yogyakarta. Dalam program ini, 15 peserta yang merupakan jurnalis dari berbagai media akan meliput isu terkait politik identitas dan perlindungan kelompok rentan menjelang pemilu 2024.