Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh dan AJI Yogyakarta menggelar diskusi bedah buku “Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dan Minoritas Agama” pada Sabtu (23/3/2024) sore di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh.
Diskusi ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Pito Agustin Rudiana, salah seorang penulis buku, dan Adi Warsidi, CEO acehkini.id. Kegiatan dipandu Januardi Husin, Ketua AJI Yogyakarta, serta dihadiri para jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil di Banda Aceh.
Ketua AJI Banda Aceh Juli Amin mengatakan, diskusi ini bertujuan untuk mempertemukan jurnalis hingga aktivis masyarakat sipil untuk membahas isu-isu yang dihadapi kelompok minoritas di Aceh.
“Diskusi ini tentang kepercayaan, transgender, dan minoritas. Ketika nanti ada kata atau kalimat yang mungkin bertentangan dengan Aceh, itu bukan kalimat yang menyudutkan Aceh, tetapi itulah AJI yang menulis independen apa adanya,” kata Juli Amin.
Topik mengenai minoritas menurutnya perlu dibahas secara bersama sehingga menemukan titik menjalin toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.
Ketua AJI Yogyakarta Januardi Husin menjelaskan, buku “Derita Penghayat Kepercayaan, Transgender, dan Minoritas Agama” merupakan kumpulan liputan jurnalis dari berbagai media. Liputan itu mengangkat isu minoritas di Yogyakarta, Jawa Tengah, Aceh, dan NTT.
Kelompok minoritas agama seperti Kristen, Muhammadiyah, dan Salafi di Aceh masih mengalami tekanan dari kelompok mayoritas. Warga Muhammadiyah tidak bisa membangun masjid, Salafi tidak bisa mengelola masjidnya sendiri, dan umat Kristen di Singkil tidak dapat membangun gereja.
“Kami ingin mendiskusikan kembali buku ini di Banda Aceh karena ada beberapa liputan dan tulisan di buku ini yang berasal dari Aceh, yaitu Meulaboh, Bireuen, dan Aceh Singkil,” kata Januardi. “Kami ingin memiliki perspektif yang sama dan benar ketika harus berhadapan dengan isu-isu minoritas.”
Adi Warsidi mengatakan gesekan terkait agama di Aceh dominan bukan antaragama, tapi antarumat. Ia mencontohkan ada masjid yang diminta tutup karena berbeda pemahaman dengan warga sekitar. Gesekan yang terjadi, menurutnya, bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antarkelompok Islam sendiri.
Warsidi juga menyoroti isu pembangunan masjid di Aceh sehingga muncul penolakan dari warga sekitar. Ia menemukan politik ekonomi dalam pembangunan masjid. “Bayangkan dalam satu kampung terdapat beberapa masjid,” kata Adi. “Uang yang seharusnya digunakan untuk keperluan tertentu, terbagi ke banyak masjid.”
Pito Agustin Rudiana, jurnalis asal Yogyakarta, menceritakan pengalamannya meliput isu keberagaman di Aceh. Ia mengamati bahwa banyak media dan informasi yang diterima masyarakat tentang agama memiliki sudut pandang yang berbeda.
Pito menemukan perbedaan antara Aceh dan Yogyakarta dalam hal keberagaman. “Identitas gender pun lebih sensitif dibicarakan di Aceh dibandingkan di Yogyakarta,” katanya.
Pito melihat bahwa masih banyak tantangan dalam mewujudkan toleransi di Aceh. Diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang toleransi dan keberagaman.
Salah seorang peserta Efriani dari Forum of Aceh dalam diskusi itu mempertanyakan sejauh mana peran anak muda berpengaruh terhadap keberagamaan menjadi lebih baik. Dia bercerita bahwa punya pengalaman kurang baik terkait toleransi saat kuliah di satu universitas di Banda Aceh.
“Ini saya rasakan sendiri saat di kampus, bahwa ketika saya tidak memakai jilbab, saya di-bully (rundung),” katanya.
Dia juga mengkritisi jurnalis di Aceh sambil mempertanyakan apakah isu keberagaman kurang menarik diliput. Sebab, dia pernah mengundang beberapa jurnalis untuk meliput isu Kantor Urusan Agama (KUA) yang menjadi tempat pernikahan semua agama. “Namun tidak tayang. Apakah ini kurang menarik?” katanya.
Adi Warsidi menjelaskan bahwa isu KUA menjadi tempat pernikahan semua agama cukup menarik dilihat dari sudut pandang jurnalistik. Selain itu, ia menuturkan isu keberagaman sangat bermanfaat bagi publik.
“Tidak mungkin suatu media yang paham jurnalistik tidak memberitakan,” katanya.[]