Poster-poster memprotes Rancangan Undang-Undang Omnibus Law memenuhi muka Gedung Agung Yogyakarta. Omnibus Law langkah mundur mitigasi bencana iklim, gagalkan Omnibus Law menjaga bumi agar tetap lestari. Begitu bunyi pesan dalam poster ditujukan kepada setiap orang yang lewat di sekitar istana kepresidenan itu.
Sabtu sore, 1 Maret 2020, para aktivis lingkungan hidup berdiri di bawah guyuran hujan. “Kami mengajak semua orang menjaga bumi sebagai rumah bersama,” kata Himawan Kurniadi, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Yogyakarta.
Himawan datang bersama aktivis dari berbagai organisasi yang bergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Iklim atau Jampiklim Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia koordinator aksi.
Puluhan aktivis menolak RUU Omnibus Law yang menjadi ancaman untuk kerusakan lingkungan lebih parah. Aturan sapu jagat ini menekankan investasi dan mengabaikan kelestarian lingkungan. Pemerintah mempermudah pemberian izin untuk menarik sebesar-besarnya investasi.
Dalam Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, beberapa pasal diganti. Usul Perubahan Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan mekanisme penilaian analisis mengenai dampak lingkungan atau uji kelayakan oleh komisi yang dibentuk pemerintah yang diatur dalam pasal 29 akan diubah menjadi penilaian pihak ketiga yang ditunjuk pelaku usaha.
Izin lingkungan pada pasal 36 akan dihilangkan. Keterlibatan masyarakat dalam pasal 65 menjadi dibatasi. Cilakanya, semua pasal yang berhubungan dengan sanksi pidana pelanggaran lingkungan hidup dihapus. Pelanggar aturan dan perusak lingkungan hanya akan dikenai sanksi administrasi.
Bila RUU Omnibus Law disahkan, maka kekacauan lingkungan akan terwujud. Sumber pangan habis karena hutan semakin gundul, kebakaran hutan, dan pencemaran lingkungan karena aktivitas penambangan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan luas lahan di Riau yang terbakar seluas 49.266 hektare, Kalimantan Tengah 44.769 ha, Kalimantan Barat 25.900 ha, Kalimantan Selatan 19.490 ha, Sumatera Selatan 11.826 ha, dan Jambi 11.022 ha.
Pemerintah juga mengabaikan energi bersih untuk melawan kerusakan lingkungan. Dewan Energi Nasional menyebut ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil sangat tinggi, mencapai 96 persen. Terdiri dari 48 persen minyak bumi, 18 persen gas bumi, dan 30 persen batu bara.
Penggunaan energi fosil itu akan menghambat target Indonesia mengurangi emisi karbon di akhir tahun 2020 sebagai bagian dari indikator penting Sustainable Development Goals atau SDGs. Agenda pembangunan berkelanjutan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa ini dibuat untuk menjawab tuntutan kepemimpinan dunia dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim melalui aksi nyata.
Kerusakan lingkungan membawa dampak lebih terhadap perempuan. Mereka menjadi kalangan paling rentan dalam situasi krisis iklim global. “Mereka akan kehilangan akses sumber penghidupan dan memperparah kemiskinan,” kata Sana, aktivis Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta.
Di hari yang sama dengan aksi demonstran itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Menggelar Rapat Kerja Nasional 2020 di Hotel Sahid Yogyakarta. Di depan ruangan pertemuan, mereka memasang papan bertuliskan cinta kita untuk bumi dengan gambar Candi Borobudur.
Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya dan para pejabat KLHK ada di sana. Salah satu agendanya membahas Omnibus Law. Pembicaranya diantaranya terdiri dari Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta San Afri Awang, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor Hariadi Kartodihardjo.
Sayangnya pertemuan itu tidak terbuka untuk publik. Saya berusaha untuk mengikuti pertemuan itu dan menemui sejumlah pejabat KLHK saat acara berlangsung di Hotel Sahid Yogyakarta.
Kedatangan saya sekaligus untuk konfirmasi tentang kayu ulin di Kalimantan Tengah yang dikeluarkan dari daftar pohon yang dilindungi untuk Majalah Tempo. KLHK mengeluarkannya dari daftar tersebut, meski tidak mendapatkan rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI. Tapi, sejumlah pejabat enggan untuk bicara. “Saya sedang banyak pikiran. Tidak bisa menanggapi kalau ramai begini,” kata Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono.
Penulis: Shinta Maharani
Koresponden Tempo
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta
Foto: Wahana Lingkungan Hidup Yogyakarta.