AJI Yogya – Divisi Pendidikan dan Jaringan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menggelar diskusi bertajuk “Perbandingan Jurnalisme di Indonesia dan Jerman” pada Selasa (24/09).
Bertempat di Sekretariat AJI Yogyakarta, diskusi ini menghadirkan Masduki sebagai pembicara. Ia merupakan mantan Ketua AJI Yogyakarta dan alumnus Institut fur Kommunikationswissenschaft (IfKW), University of Munich, Jerman.
Diskusi ini dihadiri oleh beberapa Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), seperti LPM D’Journal Universitas Amikom dan LPM Pendapa Tamansiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta. Selain itu, datang juga beberapa mahasiswa Universitas Sanata Dharma.
Masduki mengantar diskusi dalam beberapa jabaran materi, di antaranya mengenai kondisi jurnalisme di Jerman dan Indonesia. Indonesia, menurut Fareed Zakaria yang dikutip oleh Masduki dalam diskusi ini, disebut sebagai illiberal democracy, karena hanya ‘mengambil’ struktural demokrasi saja tanpa mengadopsikannya secara menyeluruh. Penyiaran berbasis publik di Indonesia pun baru dimulai tahun 1998, tepatnya setelah masa Reformasi.
Dalam rangking kebebasan pers, kata Masduki, Norwegia atau Denmark selalu menjadi peringkat teratas. Sedangkan Jerman, berkutat di peringkat 15-20. Indonesia bahkan lebih memprihatinkan dengan peringkat di atas 100. Belakangan, yang mempengaruhi naik turunnya jerman dalam rangking kebebasan pers adalah sejak munculnya isu Refugees di Jerman tahun 2015.
Hal ini terjadi lantaran jurnalis di Jerman menerima beberapa perlakuan yang tidak menyenangkan. Mulai ancaman pembunuhan dari anggota partai sayap kanan Jerman, maupun intimidasi.
Masduki juga menjelaskan tentang Indikator yang digunakan oleh otoritas Jerman untuk menilai suatu negara dalam hal kebebasan pers, seperti bagaimana hubungan negara dengan media (state intervention). Di Jerman, terdapat sebuah lembaga unik bernama Bundes Press Konferenz (BPK).
Bila di Indonesia jurnalis datang ke politikus untuk mencari berita, di Jerman justru terjadi sebaliknya. Kanselir Jerman, Angela Merkel, pada waktu-waktu tertentu akan datang ke BPK guna Diwawancarai. “Mirip doorstop,” ungkap Masduki.
Sementara, secara regulasi Jerman menerapkan sistem berbeda dibanding Indonesia. Aturan tentang pers di sana, sejenis Undang-undang Pers, menyesuaikan kondisi masing-masing negara bagian. Setiap negara bagian ini memiliki aturan.
Selain hal tersebut, Masduki juga menjelaskan, di Jerman terdapat beberapa hal tabu menyangkut jurnalisme, sebagai contoh, media di Jerman harus selalu mendorong bahwa peristiwa Holocaust itu benar-benar pernah terjadi. Tidak boleh ada penyangkalan. Tentu hal ini sangat berkebalikan dengan yang terjadi di Indonesia mengenai peristiwa genosida 1965.
Pers juga dilarang mendorong terbentuknya Gerakan Neo-Nazi. Kemudian acara ditutup dengan sesi tanya jawab dari para peserta yang hadir di diskusi tersebut. (Ditulis oleh LPM Pendapa)