Istri almarhum Munir Said Thalib, Suciwati berkunjung ke Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purowrejo, Jawa Tengah pada Sabtu (1/4/2023). Setelah menempuh delapan jam perjalanan darat dari Malang, Jawa Timur, Suciwati tiba di Wadas pada pukul 16.00 WIB.
Suciwati menggelar buka puasa bersama warga Wadas penolak tambang andesit dan jaringan masyarakat sipil seperti LBH Yogyakarta, SP Kinasih, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan AJI Yogyakarta.
Suciwati merupakan aktivis HAM yang selama 18 tahun berjuang mencari dalang kasus pembunuhan suaminya, Munir Said Thalib. Munir adalah pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang tewas diracun dalam perjalan ke Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004.
Kepada warga Wadas, Suciwati menceritakan perjuangannya belasan tahun untuk menuntut keadilan. Dia mengatakan upaya mencari keadilan tidak boleh kalah dan surut meski ancaman, intimidasi dan bujuk rayu para penguasa terus berdatangan.
Menurut dia, Indonesia saat ini dikuasai oleh rezim yang doyan merampas hak-hak masyarakat sipil, mengeksploitasi alam dan bersekongkol dengan oligarki.
“Hari ini, yang selalu dirugikan adalah masyarakat. Teman-teman diadu domba, dipecah belah, dan digembosi. Itu sudah biasa. Saya 18 tahun mencari keadilan dan sampai hari ini terus berjuang,” kata Suci.
Ibu dua anak itu mengetahui bagaimana cara-cara licik telah digunakan demi bisa menambang batu andesit di Desa Wadas. Misalnya, mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Desa Wadas yang sebelumnya merupakan kawasan perkebunan menjadi kawasan tambang.
“Ini adalah perjuangan menjaga kehidupan, menjaga air, menjaga anak cucu kita. Saya yakin teman-teman punya tekad yang kuat,” ujarnya.
Menurut Suci, memang ada cara instan untuk mengakhiri konflik di Wadas, tetapi konsekuensi yang harus dibayar adalah masyarakat akan kehilangan semuanya, termasuk solidaritas perjuangan yang sudah terbangun lima tahun terakhir.
“Saya jauh-jauh datang dari Malang ke sini untuk bersolidaritas. Bahu membahu menjaga alam Wadas agar tetap makmur, bebas banjir dan bebas dari dampak negatif tambang.”
Perempuan 55 tahun itu menegaskan bahwa melawan penguasa butuh perjuangan ekstra dan nafas panjang. Nafas panjang perjuangan itu yang harus dijaga dengan berbagai cara.
Salah satu cara memperpanjang nafas perjuangan adalah fokus pada upaya menuntut keadilan. Para penguasa, kata Suci, tidak akan pernah berhenti untuk mencari celah meruntuhkan mental masyaraka sipil yang sedang berjuang. Terus bersolidaritas adalah cara ampuh untuk melawan segala bentuk intimidasi dan penindasan.
“Ayo, mari kita jaga nafas panjang. Intimidasi hanya dilakukan oleh orang-orang pengecut dan kita tidak boleh takut pada pengecut. Dalam kehidupan, saya jatuh bangun. Saya bekerja, mengasuh anak, dan menuntut keadilan. Namun, saya dikelilingi oleh orang-oran baik yang membantu perjuangan saya,” tutur Suciwati.
Siswanto, dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) bercerita bagaimana jatuh bangun perjuangan Warga Wadas menolak tambang andesit sejak 2015. Saat itu, pada awal-awal masa penelitian, banyak masyarakat Wadas yang curiga bahwa tempat mereka akan dijadikan wilayah tambang untuk membangun Bendungan Bener.
Kekhawatiran itu benar-benar terjadi saat Warga Wadas mendapat dokumen AMDAL yang sudah distempel Desa pada 2017.
“Sejak itu kami mulai merapatkan barisan. Dahulu warga masih bergerak sendiri, belum ada teman-teman jaringan. Sekarang sudah banyak yang membantu kami. Terima kasih atas kehadirannya, Mbak Suci. Berjuang itu memang tidak mudah, butuh waktu dan keuletan,” kata Sis.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berupaya untuk menjalankan proyek pembangunan Bendungan Bener di Purworejo. Mereka ingin menambang batu andesit di Desa Wadas sebagai bahan utama pembangunan bendungan. Total ada 114 hentare lahan pertanian warga yang akan dibebaskan untuk penambangan batu andesit.
Sebagian Warga Wadas menolak rencana penambangan karena di sana adalah lahan pertanian tempat mereka menggantungkan hidup. Rumah-rumah warga di kaki bukit juga rawan tertimpa bencana longsor dan banjir jika proses penambangan tetap dilakukan. Hingga kini, Warga Wadas terus berjuang mempertahankan tanah mereka, ruang hidup dan alam Desa Wadas.