Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bersama Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI) pada Rabu (25/4) menggelar workshop sesi kedua. Workshop ini masih bertopik tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta praktik baik yang dilakukan oleh kelompok minoritas. Pokok bahasan kali ini AJI mengusung persoalan diskriminasi yang masih dialami oleh para transgender.
Menurut AJI, regulasi yang tidak memihak, faktor agama, dan sosial-kemasyarakatan yang menganggap warga transgender berperilaku menyimpang hingga kini masih kerap dirasakan oleh para transgender. Bahkan, di lingkungan sosial, praktik diskriminasi itu dialami hingga tingkat terbawah. Diskriminasi tersebut misalnya terjadi di lingkup RT yang menolak memberikan surat keterangan domisili dan kepentingan administrasi kependudukan lainnya.
Apalagi, ketika masa pandemi bantuan sosial untuk warga kurang mampu dan layanan vaksinasi Covid-19 sangat sulit menyentuh kelompok ini. Tidak hanya diskriminasi pelayanan yang seharusnya diterima kalangan transgender sebagai sesama warga negara Indonesia, mereka masih juga berhadapan dengan kekerasan yang dilakukan aparat.
Demikian pula menurut keterangan Ayu Kusuma, narasumber workshop sekaligus Ketua Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO). “Kita tidak terakses bantuan negara. Entah apa pun, pandemi, BPJS. Secara gender kita tidak ada [diakui]. Bahkan ketika kita tinggal di suatu tempat pun, kita tidak pernah terdata untuk menerima suatu bantuan,” ujar Ayu.
Selain tidak memiliki KTP yang berbuntut pada tidak bisa teraksesnya berbagai bantuan pemerintah, stigma dan cibiran di masyarakat juga masih kerap mereka alami. Stigma dan cibiran itu acap diutarakan kepada mereka terkait pekerjaan waria yang lazim berupaya di bidang pekerja seks dan pengamen.
Kesulitan mendapat KTP bagi transgender adalah dampak dari pengakuan gender yang hanya dua: pria dan wanita. Sementara, mengubah status identitas di KTP juga sulit. Padahal, segala jenis layanan negara memerlukan KTP. Hal itu, menurut Dede Oetomo, pada akhirnya berimbas pada penghidupan para transgender. Dede adalah akademisi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Menurut Dede, dari segi keilmuan, definisi gender kini lebih dari sekadar pria atau perempuan. Namun, Indonesia hingga kini memang baru mengakui dua jenis gender. Hal ini, kata Dede, berbuntut ke banyak diskriminasi lain. Perkembangan itu bukan hanya dalam hal ilmu eksak saja, melainkan perkembangan yang terjadi dalam ranah ilmu budaya. Kata dia, dalam budaya Indonesia terang bahwa pemaknaan gender bukan biner saja.
Dalam kondisi ini, keberadaan media berperan penting mendorong narasi yang toleran terhadap kelompok minoritas. Hal ini bertujuan agar berbagai praktik diskriminatif maupun pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh sistem, masyarakat maupun perangkat negara terhadap kelompok ini bisa diminimalkan.
Lebih jauh, narasi yang baik berguna untuk memberi literasi dan edukasi praktik toleran kepada masyarakat yang selama ini kerap menganggap kelompok transgender adalah perilaku menyimpang.