Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bersama bekerja sama dengan Yayasan Keadilan dan Perdamaian Indonesia (YKPI) telah menyelenggarakan workshop bertajuk “Potret Pelanggaran HAM dan Praktik Baik Kelompok Minoritas di DIY dan Jawa Tengah (Sesi 1)” pada Rabu, 20 April 2022. Workshop ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan beasiswa peliputan untuk 15 jurnalis di DIY dan Jawa Tengah dalam meliput isu keberagaman dan kelompok minoritas.
Kelompok minoritas yang dimaksud, salah satunya, adalah para penghayat kepercayaan. Sebetulnya, eksistensi kelompok ini di Indonesia telah berlangsung sejak lama. Namun, hubungan para penghayat dan negara ini kerap tarik-ulur. Kini, kendati sejumlah regulasi telah diupayakan untuk melindungi kelompok penghayat, tetapi praktik diskriminatif masih mereka rasakan. Baik dari sisi pelayanan administrasi kependudukan (adminduk), pendidikan, dan kehidupan sosial lainnya.
Untuk itu, AJI Yogyakarta merasa perlu untuk membuat forum yang mendorong pemahaman para jurnalis. Seperti yang dikatakan Shinta Maharani, Ketua AJI Yogyakarta, ketika membuka workshop, Rabu kemarin. “Ini merupakan upaya AJI Yogyakarta meningkatkan kapasitas jurnalis dalam meliput terkait penghayat dan keyakinan,” kata Shinta.
Meski begitu, workshop ini tidak hanya diperuntukkan para jurnalis, tetapi juga untuk masyarakat umum yang ingin memahami isu seputar penghayat kepercayaan ini. Tercatat, ketika berlangsung workshop, peserta mencapai hingga 42 orang dari bermacam latar. Selain itu, AJI Yogyakarta juga menyiarkan secara langsung diskusi itu melalui kanal YouTube AJI Yogyakarta agar workshop bisa diikuti secara luas oleh publik.
Sebagai narasumber workshop, dipilih orang-orang yang berkompeten, antara lain Sri Endang Sulistyowati, Ketua Perempuan Penghayat Indonesia (Puanhayati) Yogyakarta; Gress Raja, Sekretaris Majelis Luhur Indonesia (MLKI); dan Samsul Maarif, dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM.
Endang, yang sekaligus pengurus MLKI Yogyakarta, mengisahkan bagaimana dirinya mengalami perlakuan diskriminasi dari negara dalam mengurus adminduk E-KTP ketika pemutakhiran data adminduk pada 2009. Saat itu, secara adminduk penghayat sudah diakomodir dengan UU Adminduk Nomor 43 Tahun 2007. “Kita berhak sebagai warga kepercayaan untuk memilih,” kata Endang.
Namun, justru persoalan terjadi di sini. Ketika Endang mengisi formulir daring, di kolom agama ia bubuhkan angka tujuh yang digunakan oleh para penghayat kepercayaan. Akan tetapi ketika E-KTP diterbitkan, di kolom agama KTP justru tertulis nama salah satu agama. “Ketika saya bertanya, ‘ya tidak bisa diganti’. Karena perekaman E-KTP memerlukan waktu panjang, dan belum semua (warga) di Jogja melakukan perekaman E-KTP, perekaman terbatas, jadi formulir terbatas,” ujar dia.
Padahal secara historis, menurut Endang, adminduk untuk KTP dulu sudah bisa berjalan. “Meskipun bersifat tak nasional, karena waktu itu KTP kan diterbitkan di masing-masing kota,” kata Endang.
Seingat Endang, pada waktu ia berusia 15, keluarganya pindah ke Yogyakarta. Ketika keluarganya mengurus administrasi kependudukan di Rukun Kampung (RK), Endang juga disarankan untuk membuat KTP oleh ketua RK. “Dari situlah saya dibuatkan KTP dan identitas saya kepercayaan, malah dibuat namanya Angesthi Sampurnaning Kautaman,” terang Endang.
Jadi menurut Endang, adminduk itu sudah bisa berjalan. “Warga penghayat sudah bisa menampilkan identitasnya sebagai seorang penghayat kepercayaan—dan itu saya alami sendiri,” tutur Endang.
Gress Raja, dari MLKI Surakarta, berpendapat bahwa diskriminasi ini terjadi karena tidak adanya acuan standar kerja pelayanan publik di tiap daerah. Ia membandingkan pelayanan publik di Solo dan Karanganyar yang berbeda. Kata Gress, di Solo sangat mudah bagi para penghayat mendapatkan pelayanan publik. “Pemerintah telah melayani hak penghayat, termasuk (pelayanan bagi) penghayat perorangan di Solo sudah mudah.” Namun, berbeda dengan Karanganyar. Menurut dia, hal itu disebabkan penafsiran berbeda mengenai dokumen yang harus diunggah.
Namun lebih lanjut menurut Gress, praktik diskriminasi ini berinduk karena adanya perbedaan pemahaman mengenai hakikat kepercayaan dengan agama. Sebab, kata Gress, “di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tidak ada penghayat kepercayaan karena kepercayaan bukan agama. Kita masih dianggap bukan agama.” Padahal menurut Samsul Maarif, penghayat kepercayaan harusnya punya hak setara dengan penganut agama. “Termasuk fasilitas dan pelayanan publik,” imbuh dosen CRCS UGM itu.
Justru pasca Putusan MK pada 2016 lalu, ada kelompok-kelompok yang resisten terhadap putusan itu. “Perjuangan HAM untuk kepercayaan ini repot banget,” keluh Samsul. Padahal, kata Samsul lagi, permintaan ini bukan sekadar menegaskan bahwa kita beragam dan kita berbeda, tetapi bisa berimbas ke diskriminasi. Sebab, pembedaan ini bisa berdampak pada diskriminasi kepada penghayat diterima secara wajar oleh masyarakat.
Maka itu, Samsul berujar bahwa persoalan eksistensi kepercayaan di Indonesia hingga kini merupakan potret bahwa pelanggaran HAM masih berlangsung. Padahal, semestinya, negara adalah pelindung bagi kebebasan warga negara dalam menjalankan keyakinannya.