Yogyakarta- Tirto.id berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Grab Indonesia mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Keempatnya melihat RUU ini penting karena aturan yang ada sekarang belum cukup melindungi korban kekerasan seksual. Urgensi pengesahan RUU PKS muncul dalam webinar bertajuk Apa Yang Bisa Kita Lakukan Sembari Menunggu RUU PKS Disahkan, Jumat, 3 September 2021.
Acara ini satu dari sekian sesi dan pembicara Virtual Bootcamp “Saatnya Kita Menghapus Kekerasan Seksual”. Webinar itu menghadirkan pembicara yakni Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad, Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Anggia Ermarini, dan Pengurus AJI Indonesia Widia Primastika.
Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad menyebutkan masyarakat minim literasi tentang RUU PKS. Sebagian besar mereka tidak mengenal RUU PKS karena kurangnya publikasi mengenai RUU itu di media massa, seperti televisi, radio.
“RUU PKS tidak pernah dimunculkan. Sekalinya pernah, itu sangat jarang,” kata dia.
Dampaknya, mereka mendengar informasi yang tidak akurat dan informasi palsu tentang RUU itu. Contoh informasi palsu adalah RUU itu melegalkan perbuatan zina.
Pengurus AJI Indonesia, Widia Primastika menegaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak disahkan untuk melindungi korban. Dia mencontohkan kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia yang mengalami perundungan.
“Laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual,” kata Widia.
RUU PKS telah melewati serangkaian kajian panjang, bahkan sempat dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional dan kini masuk lagi. Ada berbagai dinamika yang muncul akhir-akhir ini. Kami mendengar ada sejumlah perubahan dalam pembahasan RUU itu di Badan Legislasi DPR. Misalnya pemangkasan 85 pasal, termasuk pasal yang berhubungan dengan hak-hak korban. Juga judul yang berubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ada juga penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual.
Naskah RUU PKS versi Baleg hanya memuat empat bentuk kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual fisik dan non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.
Sementara itu, naskah RUU PKS yang masyarakat sipil sodorkan merumuskan sembilan bentuk kekerasan seksual. Bentuknya yakni pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual.
Sembilan kekerasan seksual itu berdasarkan pada temuan kasus kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh forum pengadaan layanan dan Komnas Perempuan.
Draf terbaru versi Baleg muncul usai Baleg menggelar rapat pleno penyusunan draf RUU PKS pada Senin, 30 Agustus 2021.
Mereka juga menghilangkan kata penghapusan di dalam draf RUU PKS menjadi tindak pidana. Ada juga penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual.
“Kami kecewa dengan perubahan itu. Ini langkah mundur,” kata Widia.
Wakil Ketua Komisi IV DPR, Anggia Ermarini berjanji mengawal RUU PKS. “Tentang perubahan draf yang tahu Baleg,” kata Anggia.