AJI Yogyakarta menyelenggarakan roadshow diskusi buku karyanya bersama 15 jurnalis pada Selasa (19/11/2024). Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) jadi salah satu pihak yang berpartisipasi dalam roadshow tersebut.
Buku yang dibedah itu bertajuk “Suara-Suara Sunyi: Kisah Kelompok Minoritas di Pusaran Politik Indonesia” yang dikerjakan setahun terakhir dari berbagai wilayah di Indonesia. Karya itu seluruhnya berbentuk liputan panjang yang berisi kisah-kisah kelompok minoritas dari Sumba, Jawa, hingga Aceh.
Pembedah buku tersebut adalah salah satu penulisnya, Bambang Muryanto dan Direktur LkIS, Tri Noviana. “Latar belakang AJI mengangkat persoalan minoritas supaya bisa mendapat perhatian publik. Ketika publik tahu, ini akan menjadi pengetahuan yang membuat mereka akan melakukan sesuatu. Buku ini sebuah langkah kecil menuju ke sana,” jelas Bambang.
Jurnalis kawakan dari Yogya ini menerangkan isu minoritas penting untuk terus disuarakan terutama karena negara dalam beberapa kasus tidak melayani hak mereka dengan setara. “Contoh kasus diskriminasi minoritas seperti di Yogyakarta yang warga Tionghoa yang tidak
bisa mendapatkan hak tanah seharusnya kepemilikan tanah tidak berdasarkan ras,” paparannya.
Selain diskriminasi rasial, Bambang juga menyebut diskriminasi agama juga masih banyak ditemukan. Ia mencontohkan penghayat kepercayaan yang i membangun tempat ibadah. Selain itu juga ada penganut Hindu dan Budha di Demak, Jawa Tengah yang selama bertahun-tahun kesulitan mengakses tempat ibadahnya. Demak dulu menjadi bagian Majapahit Hindu dan Budha. Tapi bekas Hindu Budha di sana ditutupi. Baru
setahun kemarin, penganut Hindu dan Budha baru bisa beribadah di salah satu situs di sana,” ceritanya.
Bambang menyebut penting dalam jurnalisme itu menumbuhkan empati pada minoritas. “Karena dalam Undang-undang Pers juga ditekankan bahwa jurnalis harus berpihak pada minoritas. Ini yang membuat AJI mengangkat isu ini yg sangat jarang diangkat,” tuturnya.
Sementara itu, Tri Noviana yang berpengalaman mendampingi kelompok minoritas menyebut jarang sekali ada buku yang menampilkan pengalaman dan fakta yang dialami oleh minoritas seperti penghayat. Dulu isu penghayat tidak ada yang melirik karena sangat minoritas. Bahkan sangat sulit menemukan rujukan terkait penghayat dalam bentuk tulisan jurnalisme,” ungkapnya.
LkIS yang sudah mendampingi kelompok penghayat sejak 2014, jelas Novi, mengapresiasi buka yang diterbitkan AJI Yogya itu. “Buku ini menarik karena menunjukkan kalau hak mendapatkan KTP tidak lantas diberikan pada minoritas seperti penghayat. Padahal sudah ada peraturannya.
Buku ini menceritakan secara jelas proses advokasi para penghayat untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara,” katanya.
Novi menerangkan salah satu bagian dari buku tersebut menceritakan dinamika seorang penghayat yang turut serta dalam kontestasi pemilihan legislatif 2024 lalu. “Ancamannya ketika narasi identitas dibawa dalam Pemilu, membuat minoritas ini distigma negatif. Ini bisa memunculkan misinformasi. Disisi lain ada harapan di tahun politik kemarin yang dimiliki minoritas dengan turut berpartisipasinya,” jelasnya.
Diantara ancaman dan harapan itu, Novi menyebut peran jurnalis dalam menceritakan kelompok minoritas sangat penting. “Sehingga kami harap kedepan makin banyak jurnalis yang berperspektif tepat dalam meliput kelompok minoritas agar pemenuhan hak-hak mereka jadi suara bersama,” tandasnya.