YOGYAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengingatkan bahwa kondisi industri media di Indonesia hingga kini ‘tidak baik-baik saja’. Berbagai persoalan mulai pemenuhan hak dasar pekerja, upah layak, hingga kesejahteraan masih menjadi mimpi buruk bagi pekerja media.
Terlebih ironis, tidak sedikit pekerja media justru menjadi korban eksploitasi oleh perusahaan media.
“Pekerja media hingga saat ini menghadapi situasi buruk,” ungkap Koordinator Divisi Advokasi, Gender dan Kelompok Minoritas AJI Yogyakarta, Nur Hidayah Perwitasari saat Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, Rabu (1/5/2024).
Dikatakannya, industri media di Indonesia secara umum belum memperhatikan hak pekerja media.
“Hasil riset AJI yang melibatkan 428 jurnalis pada Februari-April 2023 menemukan hampir 50 persen upah jurnalis masih di bawah upah minimum,” katanya.
Bahkan belasan persen lainnya menyatakan bahwa upah mereka tidak menentu atau tidak memiliki gaji pokok bulanan.
“Mereka hanya menerima komisi ketika mendapatkan iklan. Ada juga upah mereka berdasarkan jumlah berita yang diterbitkan. Sebagian yang lain upah mereka berasal dari ‘AdSense’ berdasarkan jumlah view (berapa kali dibaca),” ungkapnya.
Belum lagi, lanjut Wita—sapaan akrabnya, target produksi tulisan yang dibebankan oleh manajemen media kepada jurnalis tidak manusiawi. Di lain sisi, buruh media cenderung tidak berdaya ketika menghadapi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, pemotongan upah dan berbagai kasus ketenagakerjaan lainnya.
“Kami mendorong pekerja media membentuk serikat pekerja di perusahaan media atau lintas perusahaan media. Tujuannya agar buruh media memiliki daya tawar yang kuat. Hentikan segala bentuk eksploitasi pekerja media,” tegasnya.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia, Edi Faisol mendesak Dewan Pers dan pemerintah harus memastikan tidak ada eksploitasi buruh media di Indonesia.
“Hak normatif buruh media wajib dipenuhi perusahaan media. Mulai dari soal upah layak, asuransi dan perlindungan keselamatan kerjanya,” ujar dia.
Praktik buruk di media, lanjutnya, merusak demokrasi karena pekerja media tidak dapat bekerja secara profesional dan tidak bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.
“Bila perusahaan pers tersebut masih mengeksploitasi pekerja media, berarti perusahaan tersebut tidak memenuhi standar Dewan Pers,” katanya. (*)