Oleh: Nur Hidayah Perwitasari*
Sebuah Hak, Tapi Juga Sebuah Tantangan
Bagi sebagian orang, kebebasan beragama adalah hak yang diberikan begitu saja. Namun, bagi yang lain, hak ini harus diperjuangkan setiap hari. Di Indonesia, negara yang dikenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) telah lama dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945. Meski demikian, realitas di lapangan sering kali berbeda. Kelompok minoritas masih menghadapi diskriminasi, aturan hukum kerap digunakan sebagai alat pembatasan, dan ekspresi keyakinan individu belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat.
Sejarah dan Pergulatan Panjang
Sejarah Indonesia mencatat banyak pergulatan dalam menjunjung kebebasan beragama. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah berusaha menyeimbangkan prinsip kebebasan beragama dengan peran agama dalam kehidupan bernegara. Amandemen UUD 1945 pada 2000 mengukuhkan hak setiap warga negara dalam memilih dan menjalankan keyakinannya. Namun, dalam praktiknya, kebijakan yang seharusnya melindungi sering kali justru menjadi alat kontrol dan diskriminasi.
Misalnya, regulasi seperti UU No. 12/2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) serta Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 9/8 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah yang diharapkan menjadi instrumen perlindungan. Namun, sayangnya, aturan ini acapkali digunakan untuk membatasi kelompok minoritas dalam membangun tempat ibadah mereka.
Dua Aspek Hak Kebebasan Beragama
Secara umum, KBB mencakup dua aspek utama, yaitu forum internum dan forum eksternum. Forum internum adalah kebebasan individu untuk memeluk dan mempertahankan keyakinannya tanpa intervensi. Hak ini bersifat absolut dan tidak boleh dibatasi dalam kondisi apa pun. Sementara itu, forum eksternum mencakup ekspresi keyakinan dalam bentuk ibadah, pengajaran, dan praktik keagamaan lainnya. Forum eksternum dapat dibatasi dalam kondisi tertentu demi menjaga ketertiban umum, moral, atau hak orang lain.
Namun, di Indonesia, perbedaan antara kebebasan beragama secara internal dan ekspresi eksternal keyakinan masih menjadi perdebatan panjang. Apakah pemakaian atribut keagamaan di institusi publik boleh dilarang? Sampai sejauh mana negara boleh mengatur tata cara peribadatan? Pertanyaan ini terus mengemuka dalam berbagai perdebatan kebijakan.
Ketika Hak Bertemu dengan Batasan
Dalam banyak kasus, hak atas kebebasan beragama berbenturan dengan interpretasi hukum yang tidak konsisten. Beberapa tantangan utama dalam implementasi KBB di Indonesia antara lain:
- Diskriminasi terhadap kelompok minoritas: Ahmadiyah, Syiah, dan penghayat kepercayaan masih menghadapi stigma sosial, bahkan hingga pengusiran dan penolakan legalitas.
- Pembatasan ekspresi keagamaan: Kasus pelarangan cadar di UIN Yogyakarta atau pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah negeri menunjukkan adanya batasan terhadap ekspresi keyakinan individu.
- Ketidaksetaraan dalam pelayanan publik: Siswa penghayat kepercayaan yang kesulitan mendapatkan akses pendidikan agama sesuai keyakinannya adalah salah satu contoh nyata bahwa diskriminasi masih berlangsung.
Secara hukum, pembatasan terhadap KBB memang diperbolehkan, tetapi harus memenuhi beberapa kriteria ketat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945 dan Pasal 18(3) KIHSP. Sayangnya, alasan seperti “ketertiban umum” sering kali digunakan untuk membungkam hak kelompok minoritas.
Menuju Indonesia yang Lebih Inklusif
Meskipun tantangan yang dihadapi masih besar, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk memastikan KBB benar-benar ditegakkan:
- Edukasi dan sosialisasi: Masyarakat perlu memahami bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman.
- Penegakan hukum yang adil: Setiap kasus pelanggaran KBB harus ditangani secara transparan dan tanpa diskriminasi.
- Reformasi kebijakan: Aturan yang berpotensi membatasi kebebasan beragama perlu dievaluasi dan direvisi.
- Mekanisme pemulihan bagi korban: Mereka yang mengalami diskriminasi harus mendapatkan perlindungan serta pemulihan hak.
Kebebasan beragama bukan hanya hak yang tertulis dalam konstitusi, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai demokrasi dan keadilan dalam suatu negara. Jika Indonesia ingin benar-benar menjadi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka kebijakan yang lebih inklusif dan perlindungan yang lebih kuat harus diupayakan. Dengan sikap saling menghormati, kebijakan yang lebih humanis, serta komitmen yang kuat dari berbagai pihak, Indonesia dapat menjadi tempat yang lebih adil bagi semua pemeluk agama dan keyakinan.
*Nur Hidayah Periwtasari merupakan Koordinator Divisi Advokasi, Gender dan Kelompok Minoritas AJI Yogyakarta