YOGYAKARTA – Ratusan orang dari berbagai unsur masyarakat sipil melakukan aksi untuk memperingati International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional 2025 di Titik Nol Yogyakarta, Sabtu (8/3/2025).
Meski diguyur hujan sejak siang, aksi yang mengangkat tema “Perempuan Bangga Anti Ditata” ini tetap berlangsung secara hikmat. Mereka bergiliran mengekspresikan aspirasi dengan berbagai cara. Mulai dari orasi, musik, tari, hingga aksi teaterikal.
“Bergulirnya rezim yang dipimpin oleh pelaku pelanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Kita tidak terkejut ketika berbagai penindasan terus terjadi hingga saat ini. Mereka yang berkuasa, kita yang terpinggirkan. Hidup perempuan yang melawan!” teriak salah satu orator.
Perwakilan perempuan dari unsur komunitas disabilitas juga turut melakukan orasi dengan dibantu juru bahasa isyarat.
“Negara tak peduli dengan kami,” ujarnya.
Mereka menilai, pemerintah saat ini justru sangat mengkhawatirkan dan ancaman bagi demokrasi. “Negara menunjukkan kepemimpinan tangan besi, diktator dengan beking militer. Mimpi buruk sejarah jangan sampai terulang,” pekik orator lain.
Koordinator Acara IWD Yogyakarta 2025, Firda Ainun Ula menyayangkan, kebijakan yang dikeluarkan rezim saat ini ternyata masih jauh dari prinsip keadilan. “Jangankan bicara keadilan, mereka justru mempertontonkan persekongkolan munafik di depan muka rakyat,” katanya.
Ainun menyampaikan sejumlah poin pernyataan sikap dan tuntutan kepada pemerintah. Pertama, bangun ruang aman dan inklusif di segala sektor dan tingkatan.
“Tegakkan implementasi Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),” tegasnya.
Lebih lanjut, berikan akses seluas-luasnya penyandang tuli melalui penggunaan Bahasa Isyarat Indonesia. “Hentikan praktik pernikahan anak dan pernikahan paksa. Hentikan praktik sunat perempuan. Penuhi hak-hak perempuan disabilitas,” imbuhnya.
Dia juga mendesak pemerintah untuk mewujudkan lingkungan kerja tanpa diskriminasi dan menjamin upah layak bagi pekerja. Selain itu, pemerintah diminta segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
“Permudah cuti melahirkan, cuti haid, tanpa surat dokter. Hentikan pemberangusan serikat pekerja, hentikan PHK sepihak, hentikan stigma, diskriminasi dan kekerasan terhadap pekerja perempuan,” imbuhnya.
Koordinator Divisi Advokasi, Gender dan Kelompok Minoritas Aliansi Jurnalis Yogyakarta (AJI) Yogyakarta, Nur Hidayah Perwitasari yang juga turut dalam aksi tersebut, mengatakan fenomena kekerasan di lingkungan kerja masih menjadi masalah global yang cenderung diabaikan. Termasuk di industri media massa.
“Bila kondisi kerja tidak aman, bagaimana mungkin jurnalis bisa bekerja profesional?” ungkapnya mempertanyakan.
Dikatakannya, kekerasan seksual di lingkungan kerja ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan. Bahkan, berdasarkan riset kolaboratif AJI Indonesia dan PR2Media pada 2022, sebanyak 82,6 persen dari total 852 reponden jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual.
“Situasi ini tidak bisa dianggap enteng. Artinya, perusahaan pers tidak sedang baik-baik saja,” katanya. (*)