YOGYAKARTA—Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menggelar diskusi Hasil Riset Politik Identitas dalam Pemberitaan Media Pada Pemilu 2024, secara daring, Selasa (30/7/2024). Walau tidak semasif pemilu sebelumnya, politik identitas tetap perlu menjadi perhatian dan diwaspadai.
Riset ini merupakan hasil kerja sama AJI Yogyakarta dengan pengajar Ilmu Komunikasi UNY, Gilang Jiwana Adikara. Riset ini melihat bagaimana media lokal dan nasional memberitakan pemilu 2024 selama masa kampanye, kaitannya dengan isu politik identitas.
Gilang menjelaskan penelitian ini meneliti sejumlah media daring yaitu media daring nasional dan lokal yang tersebar di sepuluh wilayah pembangunan. Setiap wilayah pembangunan diwakili oleh satu media massa lokal yang sudah terdaftar di Dewan Pers.
Dalam penelitian tersebut, terlihat jika politik identitas sangat minim muncul dalam pemberitaan soal pemilu. “Media massa semakin kritis dalam menyampaikan informasi. Minimnya pemberitaan tentang politik identitas berhubungan dengan sikap media lokal yang ingin menghindari keributan karena politik identitas,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi gesekan di masyarakat, para pengelola media sudah menyiapkan berbagai pedoman operasi standar (SOP) berita politik. Jurnalis di media lokal membuat SOP ini untuk menghindari bias yang muncul dalam pemberitaan.
Meski demikian, politik identitas tetap muncul dengan isu paling terlihat agama dan kedaerahan. “Secara pemberitaan merata. Masing-masing pilpres menggunakan narasi dekat dengna kelompok keyakinan atau kedaerahan yang sama. Biasanya kunjungan ke ponpes, gereja, wihara, masyarakat adat, dilakukan semua calon,” katanya.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Dan Data Informasi Bawaslu DIY, Bayu Mardinta, menuturkan terlepas dari dipakai atau tidaknya politik identitas, namun tren yang berjalan sejak 2014 peserta pemilu menggunakan politik populisme.
“Politik populisme memisahkan masyarakat sebagai subjek dengan kecenderungan akan menghasilkan sudut pandang yang antagonis. Dalam hal ini populisme sering memanfaatkan politik identitas untuk menciptakan kesenjangan dan memperkuat basis dukungan,” paparnya.
Perbedaan etnis, ras, agama, gender, orientasi seksual, menjadi komoditas politik yang dikomodikasi terus menerus. Jika berkaca pada pemilu sebelumnya, politik identitas cukup masif, terutama pada pilkada Jakarta 2017.
Untuk mengantisipasi politik identitas, diperlukan beberapa upaya bersama. Pertama, kampanye melawan disinformasi dan peningkatan literasi pada masayrakat untuk menolak politik populis. Kedua, kolaborasi organisasi masyarakat sipil dengan media untuk mengedukasi publik pentingnya toleransi.
Ketiga yakni pengawasan berkelanjutan oleh pemerintah dengan melibatkan lembaga terkait untuk memastikan media terutama yang belum terferivikasi Dewan Pers, tidak menjadi kanal yang memprovokasi politik identitas dan kebencian.
“Bawaslu dalam konteks ini juga memiliki mekanisme pengawasan partisipatif bersama komunitas digital dengan dukungan regulasi yang memungkinkan secara langsung masyarakat dapat melaporkan dugaan pelanggaran yang berkaitan dengan politik identitas,” katanya.
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII, Masduki, menyampaikan beberapa tantangan kedepan untuk mengantisipasi politik identitas diantaranya penajaman kode etik jurnalistik. “Mari kita perkuat kode etik jurnalistik untuk semua wartawan. Ada banyak hal yang belum dimuat dalam kode etik itu,” katanya.
Riset kedepan perlu melihat pemberitaan personalitas politik yang semakin hari semakin digemari. “Bagaimana memahami political personalization, kemudian political disinformation. Apakah jurnalis dipengaruhi PR [public relation] politic, atau memang tidak cukup punya wawasan untuk apa yang diberitakan,” ujarnya.
Terakhir, diperlukan konsolidasi antara KPU, Bawaslu, Dewan Pers, AJI dan organisasi jurnalis lainnya, untuk membuat pelatihan peliputan politik. “Kita perlu membuat semacam pelatihan yang spesifik soal ini. Misalnya liputan pemilu dalam kasus politik identitas, personalisasi politik, political disinformation, saya lihat belum ada,” ungkapnya.