Dua ribu dua tiga adalah tahun yang berat untuk dilalui oleh jurnalis dan jaringan masyarakat sipil pejuang demokrasi. Selepas Covid-19, Indonesia dirundung berbagai persoalan di isu demokrasi, kebebasan pers, kebebasan berekspresi, penegakan hukum dan HAM, serta pemberantasan korupsi.
Aktivis HAM Hariz Azhar dan Fatia Maulidiyanti dikriminalisasi dengan UU ITE. Undang-undang bermasalah itu belakangan direvisi, tetapi pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan berekspresi masih dipertahankan.
Pemilu 2024 menambah kompleks berbagai persoalan yang laten terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia harus menyaksikan drama dari para elit politik yang menerabas akal sehat. Marwah Mahkamah Konstitusi runtuh dengan adanya praktik politik dinasti.
Belum lagi jika berbicara tentang pelanggaran HAM pada isu keberagaman dan lingkungan. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih terjadi. Perampasan ruang hidup di Wadas dan Pulai Rempang seolah tak bisa dibendung. Alih-alih hadir sebagai pihak yang mencegah, pemerintah justru menjadi bagian dari berbagai persoalan tersebut.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berbagai kasus kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kesejahteraan jurnalis masih terjadi sepanjang 2023. Berikut catatan akhir tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.
- Gangguan diskusi dugaan salah tangkap Klitih Gedongkuning
Ancaman kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat terjadi di DIY pada awal 2023. Tepatnya pada Senin, 27 Februari 2023, saat Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menggelar diskusi publik tentang dugaan salah tangkap kasus Klitih Gedongkuning di Kafe Main-Main Yogyakarta. Acara itu mengadirkan sejumlah pembicara, yaitu aktivis HAM Haris Azhar, Ketua AJI Yogyakarta Januardi Husin dan Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani.
Diskusi bertajuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dugaan salah tangkap pelaku kasus klitih Gedongkuning itu sempat berlangsung beberapa saat, tetapi kemudian pihak Kafe Main-Main meminta penyelenggara mencopot tiga spanduk yang dipasang di area diskusi.
Pihak manajemen kafe berdalih bahwa pencopotan tersebut atas dasar permintaan pihak kepolisian setempat melalui sambungan telepon. Acara sempat terhenti sejenak karena peserta dan penyelenggara bersikukuh menolak pencopotan spanduk tersebut. Namun, penyelenggara akhirnya mengalah dengan mencopot tiga spanduk agar diskusi tetap bisa berlangsung.
Apa yang terjadi saat itu adalah ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Negara telah menjamin kebebasan warganya untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Tidak boleh ada pihak yang berusaha memberangus kebebasan berekspresi seseorang, apalagi terkait dengan isu sensitif.
Pengungkapan kasus Klitih Gedongkuning yang terjadi pada 3 April 2022 itu bukan tanpa catatan. Muncul dugaan penyidik kepolisian melakukan penyiksaan dan salah dalam menetapkan para pelaku. Dugaan itu makin kuat dengan adanya temuan malaadministrasi Ombudsman DIY dan temuan Komnas HAM tentang penyiksaan terhadap terpidana saat mereka masih berstatus sebagai tersangka.
Meski telah berkekuatan hukum tetap, tidak boleh ada pihak-pihak yang mengancam kebebasan berekspresi terkait kasus Klitih Gedongkuning. Putusan pengadilan bukan akhir dan ujung dari pengungkapan fakta. Publik harus diberi kebebasan untuk mengkritisi dan membongkar cacat dalam penegakan hukum. Jurnalis harus hadir dan ambil bagian dalam pengungkapan fakta.
- Ancaman kebebasan pers dalam kasus penutupan patung Bunda Maria
Awal 2023 juga diwarnai dengan munculnya kasus intoleransi beragama di DIY. Pada Rabu, 22 Maret 2023, sehari sebelum umat Muslim menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1444 H, terjadi penutupan patung Bunda Maria di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus, Padukuhan Degolan, Bumirejo, Lendah, Kulon Progo. Penutupan Patung Bunda Maria itu diduga kuat karena adanya tekanan dari salah satu kelompok ormas yang datang beberapa hari sebelumnya.
Video penutupan patung setinggi enam meter itu sempat viral di media sosial. Ketika kasus tersebut sedang jadi sorotan publik, jurnalis dan media masa justru tidak bisa bebas menelusuri fakta.
Berdasarkan catatan AJI Yogyakarta, setidaknya ada dua kasus ancaman kebebasan pers yang dialami media saat meliput penutupan patung Bunda Maria, yaitu intervensi Polres Kulon Progo terhadap konten jurnalistik yang memberitakan kasus penutupan patung Bunda Maria dan label berita hoaks yang dilakukan oleh warganet terhadap konten jurnalistik.
Pada kasus pertama, seorang jurnalis diketahui mendapat intimidasi dari pihak Polres Kulon Progo saat menghadiri acara jumpa pers terkait penutupan patung Bunda Maria di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus di Padukuhan Degolan, Bumirejo, Lendah, Kulon Progo. Humas Polres Kulon Progo meminta jurnalis tersebut untuk membuat berita sesuai narasi yang telah disampaikan Kapolres Kulon Progo. Menurut Humas Polres Kulonprogo, hal ini dilakukan agar jurnalis tidak memperkeruh suasana.
Salah satu anggota AJI Yogyakarta yang juga membuat liputan mendalam dari kasus tersebut juga mendapat pesan provokatif dari orang tak dikenal. Ada tekanan dan protes atas produk jurnalistik tentang kasus intoleransi tersebut.
Selanjutnya, dalam kasus kedua, pada Jumat (24/3), ramai sebuah cuitan di Twitter dari akun @Jogja_Menyapa yang melabeli sebuah produk jurnalistik dengan stempel hoaks dan narasi yang memprovokasi.
“betapa ngerinya berita @Harian_Jogja …. semua orang sudah menjustifikasi Islam, tak tahunya inisiatif Sendiri…,” tulis akun @Jogja_Menyapa.
AJI Yogyakarta menilai sejumlah kasus ancaman kebebasan pers itu bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat (2) menegaskan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran.
Penutupan Patung Bunda Maria sekali lagi menunjukkan bahwa DIY masih dibayang-bayangi intoleransi beragama. Jurnalis harus hadir dan bebas memberitakan berbagai kasus intoleransi sesuai dengan fakta yang ditemukan. Kepolisian harus memastikan diri untuk tidak mengintervensi pemberitaan dan membuat narasi tunggal. Masyarakat agar mendukung kebebasan pers dengan tidak melabeli karya jurnalistik dengan stempel haoks.
- 27 tahun kasus Udin mangkrak
AJI Yogyakarta kembali menggelar aksi unjuk rasa untuk memperingati 27 tahun kasus pembunuhan jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin. Dalam aksi ini, AJI dan jaringan masyarakat sipil Yogyakarta mempertanyakan kabar kelanjutan penanganan kasus ini kepada Kapolda DIY yang baru, Irjen Pol Suwondo Nainggolan.
Pembunuhan jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin memasuki tahun ke-27, tetapi hingga kini pengusutan kasus tersebut mandek. Sudah 21 kali Kapolda DIY berganti, tetapi belum ada titik terang terkait dengan pembunuhan jurnalis Udin.
AJI Yogyakarta mendesak agar Kapolda DIY Irjen Pol Suwondo Nainggolan tidak mengikuti jejak pendahulunya yang membiarkan kasus Udin terus mangkrak. Jika tidak diselesaikan, kasus ini akan menambah catatan “dark number”, kejahatan yang tidak diungkap oleh kepolisian. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan mantan Kapolri Sutarman pernah mengungkapkan bahwa ada kesalahan prosedur dalam pengungkapan kasus Udin.
Udin meninggal pada 16 Agustus 1996 setelah dianiaya oleh sejumlah orang tak dikenal tiga hari sebelumnya. Diduga kuat, pembunuhan ini berhubungan dengan karya jurnalistik kritis yang ditulis oleh Udin sebelumnya. Ia mengupas kasus korupsi mega proyek Parangtritis dan suap suksesi Bupati Bantul Sri Roso senilai Rp 1 miliar kepada Yayasan Dharmais milik Presiden Soeharto kala itu.
Investigasi wartawan Bernas yang tergabung dalam Tim Kijang Putih dan Tim Pencari Fakta dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta menghasilkan petunjuk bahwa ada dugaan pembunuhan Udin karena sejumlah berita korupsi di Bantul yang ditulisnya. Sejumlah upaya hukum dan advokasi dilakukan, termasuk memberikan data-data hasil investigasi itu kepada pihak kepolisian. Namun, kepolisian tetap berpegang bahwa Iwik adalah pelakunya.
AJI Yogyakarta menegaskan tidak ada alasan bagi polisi untuk menunda pengungkapan kasus jurnalis Udin. Semua barang bukti yang dibutuhkan sudah diserahkan. Saksi-saksi dan orang-orang yang diduga kuat terlibat juga masih tersedia untuk diperiksa.
- PHK jurnalis dan independensi media pada tahun pemilu
Menjelang Pemilu 2024, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pemotongan gaji terhadap jurnalis dan pekerja media di Indonesia. Perusahaan media beralasan bahwa kondisi keuangan yang tidak baik menjadi alasan PHK dan pemotongan gaji. Beberapa jurnalis di DIY juga menjadi korban PHK dan pemotongan gaji.
Pada awal tahun, kasus PHK sepihak menimpa 12 jurnalis Akurat.co biro Yogyakarta. Perusahaan memutuskan menutup kantor biro DIY dan mem-PHK pekerja media secara sepihak tanpa pesangon yang layak. Perkara itu kemudian diadvokasi oleh AJI Yogyakarta dan LBH Pers Yogyakarta. Tujuh pekerja media sepakat untuk melanjutkan perkara tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial Yogyakarta. Di tengah proses persidangan, perusahaan akhirnya setuju untuk membayar pesangor pekerja medianya yang di-PHK.
Kasus PHK juga menimpa 16 pekerja media Tirto.id. Tiga di antaranya adalah mereka yang bekerja di Yogyakarta. Perusahaan mengeklaim kondisi keuangan sedang tidak sehat sehingga terpaksa melakukan efisiensi. Pekerja media terpaksa menerima tawaran pesangon dengan format Perppu Cipta Kerja yang nominalnya lebih kecil dibandingkan format UU Ketenagakerjaan. Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa UU/Perppu Cipta Kerja tidak memihak buruh.
Belakangan, media nasional Republika juga mem-PHK lebih dari 100 karyawannya, termasuk yang bekerja di Biro Yogyakarta.
Selain PHK, pemotongan gaji juga menimpa semua pekerja media di Suara.com, termasuk yang bekerja di Jogja. Lagi-lagi, pemotongan hak karyawan dilakukan dengan alasan kondisi keuangan perusahaan yang sedang goyang.
AJI Yogyakarta menyayangkan adanya PHK dan pemotongan gaji pekerja media. Perusahaan wajib memenuhi hak jurnalis dan pekerja media untuk diupah dengan layak. Upah layak adalah salah satu syarat untuk lahirnya produk jurnalistik yang berkualitas. Bagi pekerja media, kondisi seperti ini sekali lagi menekankan pentingnya berserikat dan tergabung dalam organisasi jurnalis.
Di samping itu, kondisi keuangan perusahaan media yang goyang memunculkan kekhawatiran terhadap independensi media saat tahun pemilu. Iklan politik yang masuk ke perusahaan media berpotensi mengancam kebebasan pers. AJI Yogyakarta mengingatkan media dan jurnalis agar tetap menjaga independensi saat tahun pemilu. Ruang redaksi harus bebas dari intervensi. Jurnalis harus menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik dengan berpegang teguh pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
- Pelarangan acara Festival Keadilan di UIN Yogyakarta
Akhir 2023 ditutup dengan peristiwa yang memprihatinkan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Social Movement Institute (SMI) semula berencana menggelar Festival Keadilan di GOR tenis UIN Yogyakarta pada Minggu malam (10/12). Direktur SMI Eko Prasetyo mengatakan Festival Keadilan adalah bagian dari rangkaian peringatan Hari HAM Sedunia.
Oleh karena itu, mereka menghadirkan sejumlah tokoh dan aktivis HAM dan Demokrasi, seperti pengamat politik Rocky Gerung, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti, aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, serta Ketua YLBHI Muhammad Isnur.
Beberapa hari menjelang acara, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Al Makin melarang kegiatan tersebut. Pihak kampus beralasan bahwa kegiatan tersebut bernuansa politik praktis dan tidak sesuai dengan izin yang diajukan. Fastival Keadilan pun batal terselenggara di UIN Yogyakarta dan pindah ke salah satu kafe di Godean.
AJI Yogyakarta menyayangkan pelarangan acara Festival Keadilan di UIN Yogyakarta. Kegiatan tersebut terselenggara sebagai bentuk keprihatinan jaringan masyarakat sipil terhadap situasi penegakan hukum, HAM dan demokrasi di Indonesia.
Sayangnya, Rektor UIN Yogyakarta Al Makin gagal membedakan kegiatan politik praktis dan kebebasan berekspresi. Padahal, ia adalah salah satu panelis dalam debat perdana Calon Presiden 2024 tentang isu hukum, HAM dan demokrasi. Peristiwa itu menjadi sinyal bahwa kebebasan berekspresi di lingkungan akademik pun mulai terancam.