Pembangunan dan perampasan lahan kerap menghancurkan kemanusiaan tanpa tedeng aling-aling. Kekuasaan digunakan secara serampangan demi melancarkan kepentingan bisnis yang gurih untuk menumpuk fulus.
Praktik lancung perampasan lahan semakin terlihat brutal tatkala menggunakan kekuatan senjata dan tentara untuk menggusur tanah-tanah warga. Tanah bagi mereka yang tak punya kuasa itu adalah sumber penghidupan. Konflik agraria lekat dengan kekerasan struktural oleh negara terhadap masyarakat sipil yang terdampak pembangunan.
Situasi itulah yang tergambar dari buku berjudul Menyerobot Tanah Rakyat Atas Nama Monarki Investasi dan Negara. Buku yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta atas dukungan Kurawal Foundation ini menyajikan laporan investigasi hasil kolaborasi 15 jurnalis dalam peliputan konflik agraria di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Buku ini memuat cerita di balik proses liputan supaya pembaca mendapat gambaran kegigihan para jurnalis dalam mengungkap kejahatan yang disembunyikan. Pengalaman bekerja dalam tim mereka ceritakan dengan cara yang mengalir.
Dibagi dalam tiga kelompok, para jurnalis ini fokus pada tiga isu: penguasaan tanah kas desa oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, penyerobotan lahan Urut Sewu di Jawa Tengah oleh Tentara Nasional Indonesia, dan bisnis tambang pasir besi keluarga Keraton dan Pakualaman di Kabupaten Kulon Progo.
Para jurnalis yang bekerja di media arus utama ini bekerja keras selama tujuh bulan dan mendapatkan pendampingan mentor. Mereka rutin bertemu mentor berdiskusi membahas bahan liputan, temuan di lapangan, menambal bahan, mencari cara mengatasi kendala di lapangan, dan merancang mitigasi. Kerja mereka seperti menemukan jarum di tumpukan jerami. Tidak mudah membongkar kejahatan agraria yang sengaja disembunyikan karena kekuasaan. Layaknya mengupas bawang, mereka tekun menelusuri fakta lapis demi lapis demi menemukan kebenaran.
Setiap kelompok mencari dan mengumpulkan bahan dan dokumen liputan yang terserak, mengejar dokumen yang tersembunyi, dan membeli dokumen resmi melalui Ditjen Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka wajib mengecek satu per satu dokumen tersebut supaya tidak ada informasi yang terlewat dan menghindari kesalahan membaca dokumen.
Pengumpulan data saja tak cukup. Mereka harus mewawancarai orang-orang yang dituding menyerobot lahan dan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan bisnisnya. Jurnalis mengejar keluarga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, trah Pakualaman hingga tentara.
Tidak gampang menembus dinding tebal Keraton Jogja yang memerlukan akses dan upaya keras. Mewawancarai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan putrinya, Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi misalnya. Mereka harus bersabar menunggu penguasa Keraton dengan cara door stop. Sultan tak akan pernah bisa ditelepon untuk diwawancarai.
Kegigihan mereka terbayarkan dengan terbitnya 15 karya jurnalistik di setiap media tempat mereka bekerja. Untuk mengukur dampak pemberitaan, tim AJI Yogyakarta memantau pembicaraan publik di media sosial maupun WhatsApp. Pemberitaan tanah kas desa misalnya, mendapat perhatian publik di media sosial seperti Twitter.
Ada warga yang tergerak menulis keresahan atas penguasaan tanah oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat melalui media daring. Kelompok masyarakat Tionghoa juga memprotes penguasaan lahan itu melalui unjuk rasa.
Buku setebal 448 halaman ini terdiri dari tiga bagian yang merupakan kumpulan hasil liputan yang telah dipublikasikan di masing-masing media tempat para jurnalis bekerja. Bagian Pertama buku ini berisi mengenai hasil liputan perampasan tanah warga Urut Sewu oleh TNI AD, bagian kedua berisi kumpulan hasil liputan buku ini mengulas tentang penyerobotan tanah desa oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Bagian Ketiga berisi kumpulan hasil reportase tentang pengambilan tanah Paku Alam dari para petani lahan pesisir di Kulonprogo untuk didirikan tambang pasir besi. Buku yang terbit setelah kelahiran buku Serba-serbi Jurnalisme Investigas ini hadir melalui proses panjang dan perencanaan tim program bersama editor dan ilustrator selama hampir empat bulan.
Dalam perjalanan penyusunan buku, tantangan muncul karena pandemi Covid-19. Sebagian anggota tim positif Covid sehingga membuat pengerjaan buku tertunda selama hampir sebulan. Tim menyiasati dengan berbagai cara supaya penerbitan buku bisa mengejar tenggat waktu.
AJI Yogyakarta menaruh perhatian terhadap isu-isu yang berhubungan dengan konflik agraria karena merampas ruang hidup masyarakat yang tak bisa bersuara. Isu ini melibatkan aktor-aktor politik dan pebisnis untuk melancarkan kepentingan mereka atas nama investasi.
Mendukung liputan investigasi konflik agraria merupakan bagian penting dari mewujudkan tri panji AJI, yakni profesionalisme jurnalis. Kolaborasi jurnalis ini erat kaitannya dengan upaya meningkatkan kapasitas jurnalis. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, tak banyak liputan investigasi bertema konflik agraria yang dikerjakan dalam bentuk kolaborasi. Liputan ini membutuhkan keterampilan jurnalistik, keuletan, keberanian, ketekunan, kegigihan jurnalis untuk menembus berbagai rintangan yang mengadang mereka.
Kolaborasi jurnalis mengandalkan kepercayaan dan kekompakan tim. Selain itu, liputan investigasi membutuhkan dukungan pembiayaan yang tidak sedikit jumlahnya.
Hal lain yang penting dari liputan investigasi adalah independensi jurnalis dan ketaatan pada kode etik jurnalistik yang menyelamatkan mereka dari serangan dan gugatan dari orang-orang yang terusik dengan pemberitaan.
Mereka berhasil melewati berbagai tantangan dan memanen hasil kerja kolaborasi. Buku ini bagian dari apresiasi terhadap semua jurnalis dan pihak yang terlibat mendukung liputan investigasi.
Ucapan terima kasih tak terhingga kami sampaikan kepada Kurawal Foundation yang mendukung pengerjaan program liputan kolaborasi, penyusunan buku, hingga sosialisasi buku ini. Tidak lupa, terima kasih kami tujukan kepada editor buku, Nugroho Nurcahyo yang bersedia menyumbangkan pikiran dan tenaganya di tengah kesibukannya bekerja sebagai redaktur pelaksana media lokal di Yogyakarta.
Apresiasi tak terhingga juga kami sampaikan kepada 15 jurnalis yang menghasilkan karya jurnalistik dan menyusun cerita di balik liputan. Penghargaan serupa ditujukan kepada seluruh tim program dan keuangan yang bekerja keras mewujudkan buku ini.
Tim itu terdiri dari Bhekti Suryani, Ahmad Mustaqim, Suyatno, dan Eny Sudarwati. Mereka bekerja dengan cara yang rapi dalam berbagai koordinasi yang membutuhkan energi lebih di tengah kesibukan masing-masing.
Pembaca, buku ini ditulis sebagai ikhtiar bersama untuk melengkapi buku-buku tentang jurnalisme investigasi yang terbit sebelumnya. Dengan kerendahan hati, kami berharap buku yang jauh dari sempurna ini bisa menambah khazanah pengetahuan jurnalisme investigasi di Indonesia. Jurnalisme yang berkualitas berperan penting untuk kehidupan Indonesia yang lebih baik dan beradab.
Salam
Shinta Maharani
Ketua AJI Yogyakarta