YOGYAKARTA—Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menggelar audiensi dengan KPU DIY, Selasa (6/2/2024). Dalam pertemuan ini, AJI Yogyakarta mendorong pelaksanaan pemilu dan pilkada tanpa politik identitas, melalui rekomendasi hasil riset yang sudah dilakukan.
Dalam riset berjudul Politik Identitas Dalam Pemberitaan Media Lokal Dan Nasional Selama Masa Kampanye Pemilu 2024 ini, AJI Yogyakarta menggandeng dosen Ilmu Komunikasi UNY, Gilang Jiwana Adikara, untuk melihat bagaimana politik identitas muncul melalui pemberitaan sejumlah media menjelang pelaksanaan pemilu 2024.
Gilang menjelaskan kekahwatiran akan politik identitas di Indonesia bukan tanpa sebab. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, strategi politik identitas sudah banyak digunakan. “Efek terbesar dari politik identitas di Indoensia lahir pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, dimana narasi identitas dipertajam melalui media digital yang mulai dikenal dan digunakan masyarakat,” katanya.
Riset ini mengambil sampel 12 media, yang mewakili media nasional dan media lokal yang tersebar di 10 wilayah pembangunan. Semua media yang menjadi sampel dalam riset ini sudah terverifikasi oleh Dewan Pers. Pemberitaan terkait pemilu di media umum tersebut terbagi dalam tiga kategori, yakni peristiwa, kampanye dan advertorial.
“Seara umum, media lokal dan media nasional memiliki prioritas dan strategi yang berbeda dalam memberitakan Pemilu 2024. Media lokal berusaha tetap fokus pada isu lokalitas sedangkan media nasional lebih banyak memfokuskan pada dinamika politik di level pusat dan nasional,” ungkapnya.
Media nasional banyak memainkan isu kampanye terutama yang berbasis identitas. Hal ini terutama cukup ramai di awal masa kampanye di mana wacana penyelenggaraan dan visi msi belum banyak dieksplorasi. Meski demikian, berita politik identitas yang ramai pada Desember 2023 tidak bernada provokatif dan hanya bernuansa pengumuman keberpihakan.
Minimnya pemberitaan tentang identitas di media lokal rupanya juga berhubungan dengan sikap media lokal yang ingin menghindari adanya keributan karena politik identitas. Berkaca dari beberapa gelaran pemilu sebelumnya yang sarat dengan wacana provokatif berbasis identitas, sejumlah media massa lokal yang diteliti memilih ikut menekan porsi berita yang berpotensi menibulkan gesekan.
Kontribusi pada situasi politik di masyarakat yang relatif tenang tidak hanya dipengaruhi oleh pemberitaan yang lebih hati-hati. Masyarakat saat ini juga sudah lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan identitas. “Di Bali misalnya, saat ini banyak caleg-celeg yang beraliran Islam yang semakin banyak menggunakan baliho dengan identitas keislamannya,” kata dia.
Sejumlah rekomendasi dari riset ini diantaranya mendorong KPU dan Bawaslu untuk bekerjasama dengan Dewan Pers dan berbagai organisasi media dan organisasi kewartawanan untuk lebih memperkuat kontrol ke anggota-anggota mereka.
“Fokus pengawasan sebaliknya justru lebih berat pada media-media yang tidak terverifikasi Dewan Pers, media partisan, atau akun media sosial yang eksis tanpa kontrol. Pada media-media ini, berita yang bersifat provokatif akan jauh lebih mudah muncul dan tanpa adanya kontrol redaksional yang professional,” ungkapnya.
Kunci kondusifitas sebenarnya ada pada perilaku elite politik di tingkat atas. Pada masa kampanye Pemilu 2024 putaran pertama, dapat dikatakan tidak ada elite yang berlaku provokatif. Namun jika ada provokasi di level nasional, maka kelompok masyarakat di akar rumput bisa jadi akan mudah saling bergesekan. KPU dan Bawaslu harus lebih siap dan sigap mengedukasi masyarakat agar hal tersebut dapat dihindari.
Penanggungjawab Program AJI Yogyakarta, Dipna Videlia Putsanra, menuturkan riset ini harapannya bisa menjadi bahan evaluasi dan sosialisasi KPU DIY, khususnya untuk pelaksanaan pilkada tahun ini maupun pemilu-pemilu selanjutnya.
Indonesia memiliki pengalaman politik identitas dalam pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. “Apalagi di Indonesia itu pernah ada pengalaman diskriminasi kelompok minoritas ketika pilkada. Pilkada sepertinya akan lebih rentan terhadap hal itu,” katanya.
Ketua Divisi Hukum Dan Pengawasan KPU DIY, Ibah Muthiah, mengakui dengan masa kampanye yang lebih panjang, pada pemilu 2019 politik identitas cukup kentara. Adapun identitas yang paling sering digunakan dalam politik identitas yakni agama.
“Masih ada pandangan bahwa bagian ketaatan, apa yang diputuskan pemimpin diikuti. Ini yang digunakan oleh para elit-elit untuk masuk di politik identitas sehingga semuanya taat. Mereka cara pandangnya sederhana, ‘udah lah saya ikut aja’. Secara tidak langsung hak politik dari masing-masing pemilih menjadi tidak Merdeka,” ungkapnya.
Untuk pelaksanaan pemilu 2024 ini, menurutnya sejauh ini masih terpantau landai, belum ada kemunculan politik identitas yang mencolok hingga menimbulkan konflik. Namun politik identitas harus tetap perlu diwaspadai kemunculannya jika pilpres berlanjut ke putaran kedua dan menjelang pelaksanaan pilkada.
Selain dengan KPU DIY, AJI Yogyakarta juga beraudiensi dengan Bawaslu DIY pada Rabu (7/2/2024). Hasil riset ini diharapkan bisa menjadi masukan dan pembelajaran bersama menyikapi situasi politik saat ini maupun untuk pengambilan kebijakan pada pelaksanaan pemilu dan pilkada selanjutnya.